tulisan ini bisa dilihat juga di Radar Banten
Bukan menjadi rahasia lagi jika Human Development Report 2007/2008 yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) ,menyatakan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia di urutan 107 dengan 0,728, dan tragisnya Indonesia berada dua tingkat di bawah Vietnam 0,733 (peringkat 105). Lalu dimana posisi negara-negara tetengga lainnya? Jauh, jauh diatas Indonesia, Singapura 0,922 (Peringkat 25), Brunei 0,894 (30), Malaysia 0,811 (63), Thailand 0,781 (78), dan Filipina 0,758 (90). Tiga negara seperti Singapura, Brunei dan Malaysia masuk dalam jajaran negara High Human Development.
Pengukuran Human Development Index merupakan perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Hasil ini jelas sekali mengindikasi bahwa belum maksimalnya kualitas bangsa ini, dan salaah satu faktornya belum maksimalnya angka melek huruf.
Penyebab Minat Baca Rendah
Selain melek huruf yang menjadi acuan dalam penentuan HDI, ada beberapa indikator yang bisa dijadikan sebagai alat untuk menyatakan tinggi rendah minat baca, diantaranya jumlah buku yang diterbitkan, dan juga jumlah konsumsi surat kabar. Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang (mungkin) menjadi penyebab rendahnya minat baca pada masyarakat kita.
Beberapa pakar dalam pendidikan pun berulang kali menyatakan hal ini. Sadar atau tidak, iklim menjadikan penyebab pertama rendahnya minat baca. Iklim atau sistem pembelajaran di negeri ini belum membuat anak-anak, baik itu dari tingkat dasar maupun perguruan tinggi untuk membaca buku sebagai suatu kebutuhan, bukan semata kewajiban kurikulum. Sehingga kebutuhan untuk membaca buku lebih banyak, mencari informasi/pengetahuan lebih banyak dari pada yang diajarkan. Hal inipun yang kemudian akan meningkatkan kemampuan untuk mengapresiasikan karya-karya ilmiah, sastra maupun yang lainnya.
Banyaknya jenis hiburan, permainan, dan tayangan televisi yang beredar dewasa ini, cukup dapat mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku, majalah ataupun surat kabar, karena konsumsi masyarakat kitaa lebih dominan pada tayangan audio visual.
Penyebab ketiga, ketersediaan tempat hiburan untuk menghabiskan waktu, seperti; taman rekreasi, tempat karaoke, mal, supermarket. Sehingga, ketika kepenatan datang justru tempat-tempat tersebut menjadi pilihan dari pada membaca buku ataupun majalah-majalah yang ringan untuk dibaca.
Tradisi baca memamg belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Bangsa ini terbiasa mendengar dan belajar mendongeng, kisah ataupun adat istiadat secara verbal yang dituturkan oleh orang-orang terdahulu. Tanpa adanya proses pembelajaran secara tertulis.
Terakhir, sarana untuk memperoleh bacaan bermutu seperti perpustakaan ataupun taman bacaan masih merupakan barang langkah. Walaupun beberapa cafe di kota-kota besar mulai menerapkan konsep library cafe. Ironisnya perpustakaan ataupun taman baca yang telah tersedia tidak dilengkapi dengan ketersediaan koleksi secara berkesinambungan mengikuti perkembangan terbitan terbaru. Bahkan di beberapa kota di Indonesia belum memiliki toko-toko buku bermutu. Coba lihat dan amati di sekitar kita, adakah toko buku, taman baca ataupun perpustakaan yang layak? dengan menyediakan koleksi-koleksi terbaru dan tidak hanya satu budang ilmu saja.
Kebijakan Pemerintah
Sebenarnya bukan tidak peduli atau duduk saja. Pemerintah sejak dahulu sudah melalui berbagai upaya seperti pengadaan buku-buku wajib anak melalui departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1990an. Lalu pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri menyediakan 50 rumah baca yang tersebar di seluruh Indonesia, yang pada waktu peresmiaanya dipusatkan di rumah Baca Pesisir kota Cirebon. Bahkan pengadaan perpustakaan keliling yang diharapkan bia untuk menjangkau seluruh wilayah di belum memiliki fasilitas perpustakaan atau taman baca. Tetapi hingga kini harus diakui ketersediaanya tangan pemerintah untuk menampung atau menfasilitasi kepentingan ini masih belum maksimal.
Bahkan Kepala Pusat Bahasa, Dr. Dendy Sugono mengemukakan, untuk meningkatkan minat baca pada masyarakat, keberadaan bahan bacaan pada ruang publik seperti di sekitar pasar, terminal, stasiun dan pusat keramaian lain, semakin diperlukan (kapanlagi.com, 24 Agustus 2007).
Setidaknya masih ada waktu kurang lebih satu tahun menuju pentas demokrasi 2009, masih punya banyak waktu bagi pemimpin negeri ini dan semua pihak yang terkait untuk maksimal dalam memperhatikan kepentingan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan minat baca. Semoga!(*)
Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Sumber : Radar Banten, 05 November 2008
Bukan menjadi rahasia lagi jika Human Development Report 2007/2008 yang dikeluarkan oleh United Nations Development Programme (UNDP) ,menyatakan bahwa Human Development Index (HDI) Indonesia di urutan 107 dengan 0,728, dan tragisnya Indonesia berada dua tingkat di bawah Vietnam 0,733 (peringkat 105). Lalu dimana posisi negara-negara tetengga lainnya? Jauh, jauh diatas Indonesia, Singapura 0,922 (Peringkat 25), Brunei 0,894 (30), Malaysia 0,811 (63), Thailand 0,781 (78), dan Filipina 0,758 (90). Tiga negara seperti Singapura, Brunei dan Malaysia masuk dalam jajaran negara High Human Development.
Pengukuran Human Development Index merupakan perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara adalah negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Hasil ini jelas sekali mengindikasi bahwa belum maksimalnya kualitas bangsa ini, dan salaah satu faktornya belum maksimalnya angka melek huruf.
Penyebab Minat Baca Rendah
Selain melek huruf yang menjadi acuan dalam penentuan HDI, ada beberapa indikator yang bisa dijadikan sebagai alat untuk menyatakan tinggi rendah minat baca, diantaranya jumlah buku yang diterbitkan, dan juga jumlah konsumsi surat kabar. Terlepas dari semua itu, ada beberapa hal yang (mungkin) menjadi penyebab rendahnya minat baca pada masyarakat kita.
Beberapa pakar dalam pendidikan pun berulang kali menyatakan hal ini. Sadar atau tidak, iklim menjadikan penyebab pertama rendahnya minat baca. Iklim atau sistem pembelajaran di negeri ini belum membuat anak-anak, baik itu dari tingkat dasar maupun perguruan tinggi untuk membaca buku sebagai suatu kebutuhan, bukan semata kewajiban kurikulum. Sehingga kebutuhan untuk membaca buku lebih banyak, mencari informasi/pengetahuan lebih banyak dari pada yang diajarkan. Hal inipun yang kemudian akan meningkatkan kemampuan untuk mengapresiasikan karya-karya ilmiah, sastra maupun yang lainnya.
Banyaknya jenis hiburan, permainan, dan tayangan televisi yang beredar dewasa ini, cukup dapat mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku, majalah ataupun surat kabar, karena konsumsi masyarakat kitaa lebih dominan pada tayangan audio visual.
Penyebab ketiga, ketersediaan tempat hiburan untuk menghabiskan waktu, seperti; taman rekreasi, tempat karaoke, mal, supermarket. Sehingga, ketika kepenatan datang justru tempat-tempat tersebut menjadi pilihan dari pada membaca buku ataupun majalah-majalah yang ringan untuk dibaca.
Tradisi baca memamg belum pernah diwariskan nenek moyang kita. Bangsa ini terbiasa mendengar dan belajar mendongeng, kisah ataupun adat istiadat secara verbal yang dituturkan oleh orang-orang terdahulu. Tanpa adanya proses pembelajaran secara tertulis.
Terakhir, sarana untuk memperoleh bacaan bermutu seperti perpustakaan ataupun taman bacaan masih merupakan barang langkah. Walaupun beberapa cafe di kota-kota besar mulai menerapkan konsep library cafe. Ironisnya perpustakaan ataupun taman baca yang telah tersedia tidak dilengkapi dengan ketersediaan koleksi secara berkesinambungan mengikuti perkembangan terbitan terbaru. Bahkan di beberapa kota di Indonesia belum memiliki toko-toko buku bermutu. Coba lihat dan amati di sekitar kita, adakah toko buku, taman baca ataupun perpustakaan yang layak? dengan menyediakan koleksi-koleksi terbaru dan tidak hanya satu budang ilmu saja.
Kebijakan Pemerintah
Sebenarnya bukan tidak peduli atau duduk saja. Pemerintah sejak dahulu sudah melalui berbagai upaya seperti pengadaan buku-buku wajib anak melalui departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1990an. Lalu pada masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri menyediakan 50 rumah baca yang tersebar di seluruh Indonesia, yang pada waktu peresmiaanya dipusatkan di rumah Baca Pesisir kota Cirebon. Bahkan pengadaan perpustakaan keliling yang diharapkan bia untuk menjangkau seluruh wilayah di belum memiliki fasilitas perpustakaan atau taman baca. Tetapi hingga kini harus diakui ketersediaanya tangan pemerintah untuk menampung atau menfasilitasi kepentingan ini masih belum maksimal.
Bahkan Kepala Pusat Bahasa, Dr. Dendy Sugono mengemukakan, untuk meningkatkan minat baca pada masyarakat, keberadaan bahan bacaan pada ruang publik seperti di sekitar pasar, terminal, stasiun dan pusat keramaian lain, semakin diperlukan (kapanlagi.com, 24 Agustus 2007).
Setidaknya masih ada waktu kurang lebih satu tahun menuju pentas demokrasi 2009, masih punya banyak waktu bagi pemimpin negeri ini dan semua pihak yang terkait untuk maksimal dalam memperhatikan kepentingan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa melalui peningkatan minat baca. Semoga!(*)
Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Sumber : Radar Banten, 05 November 2008
0 komentar:
Posting Komentar