Pengantar
Secara umum, pendidikan di Indonesia masih tertinggal dibanding dengan negara maju, bahkan di kawasan ASEAN. Dalam upaya memajukan dunia pendidikan, pemerintah telah menetapkan program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas). Wartawan SP Willy Masaharu menuliskan laporan seputar program itu, termasuk mengungkap masalah korupsi dan pungutan liar (pungli) yang masih terjadi hingga kini.
SP/Alex Suban
Siswa kelas V SDN Umbul Kapuk, di Desa Panggung Jati, Kecamatan Taktakan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, terpaksa belajar di bawah tenda di halaman sekolah, Rabu (2/4). Tiga ruang kelas di sekolah itu terancam roboh dan miring. Bila hujan datang mereka harus berteduh di emperan kelas.
Sesuai amanat UUD 1945, pemerintah harus melakukan upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan melakukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Kini, pemerintah tengah mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Namun, di tengah upaya itu muncul ancaman, berupa praktik korupsi dan pungli yang masih terjadi lingkungan sekolah dan birokrat pendidikan. Akankah program prestisius wajar dikdas itu gagal karena korupsi dan pungli yang makin marak?
Saat ini, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta, bahkan hingga ke tingkat perguruan tinggi dan lembaga pendidikan nonformal, muncul tawaran perolehan kualitas pendidikan yang disesuaikan dengan biaya pendidikan. Untuk sebuah sekolah plus setingkat SMP saja, tidak kurang dibutuhkan biaya setara dengan pendidikan sarjana strata dua (S2) di perguruan tinggi negeri. Upaya itu terkait dengan bisnis pendidikan atau lebih populer disebut komersialisasi pendidikan.
"Penuntasan wajar dikdas tidak akan berhasil selama korupsi dan pungli di sekolah masih berlangsung," kata Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.
Dia mengatakan pungli dengan berbagai macam alasan di sekolah bukan merupakan barang baru. Terlihat sekali bahwa dunia pendidikan di negeri ini sudah menjadi lahan bisnis bagi banyak pihak. "Sekolah sudah menjadi lahan bisnis. Pendidikan telah dikomersialkan. Uang dalam Penerimaan Siswa Baru (PSB) diduga kuat banyak penyimpangannya dan penggunaannya tidak jelas," ujarnya.
Terkait hal itu, pemerintah diminta merevisi target untuk mengakhiri program wajar sembilan tahun pada 2008. Permintaan itu disampaikan setelah ICW menemukan indikasi kenaikan beban biaya orangtua akibat sejumlah uang pungutan di sekolah. Di sekolah dasar (SD) misalnya, beban biaya tak langsung orangtua bertambah karena semakin beragamnya pungutan yang dibebankan sekolah.
Survei ICW terhadap realisasi wajar sembilan tahun itu dilakukan di lima wilayah, yakni DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Garut, Kota Padang, dan Kota Banjarmasin. Dari hasil survei tersebut, biaya pendidikan seoorang siswa SD pada 2006 mencapai Rp 4.012.000. Namun pada 2007 bertambah menjadi Rp 4.768.950. "Kalau tak mau disebut membiarkan, kenaikan ini disebabkan kegagalan pemerintah untuk menekan terjadinya pungli," kata Ade.
ICW menyoroti berbagai biaya langsung dan tak langsung yang semakin beragam di tingkat SD. Pada biaya langsung, ICW menemukan pungutan terbesar ke setiap murid adalah pungutan kursus sekolah sebesar Rp 311.000 per anak, kemudian pengadaan lembar kerja siswa (LKS) dan buku teks sebesar Rp 145.000, dan pungutan-pungutan tak jelas, semacam infak harian, uang ujian, uang ekstrakurikuler, uang kebersihan, dan juga uang perpisahan. Padahal, dana-dana tersebut sudah dibebaskan oleh pemerintah melalui pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS) kepada sejumlah sekolah. Namun praktik di sekolah-sekolah masih menunjukkan adanya penyelewengan. Sedangkan di sektor biaya tak langsung, ICW menemukan penambahan beban terbesar ada pada biaya seragam dan juga biaya kursus di luar sekolah yang semakin marak.
Ade beranggapan kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan wajar dikdas terkait dengan penyediaan sarana pendidikan dasar gratis untuk seluruh lapisan masyarakat, karena hal tersebut sudah menjadi amanat yang digariskan dalam UUD 45. "Kegagalan itu sebenarnya sudah dimulai dari tingkat Depdiknas, yang akhirnya menjalar menjadi berbagai penyelewengan di tingkat sekolah-sekolah," tegasnya.
Sistemik dan Berjemaah
Pendidikan di Indonesia sangat mahal? Ya, karena maraknya praktik korupsi pendidikan dan semua itu dilakukan secara sistemik dan berjemaah. Ade menuturkan, kasus-kasus korupsi pendidikan yang semakin lama semakin marak terjadi di semua tingkatan, mulai dari Depdiknas, Dinas Pendidikan, hingga sekolah.
Ia mengatakan praktik korupsi yang sistemik dan berjemaah itu mulai terdeteksi pada penerapan strategi pembiayaan yang didasarkan pada proyek wajib belajar. Model proyek tersebut memudahkan terjadinya korupsi. Sedangkan, jenis, jumlah, dan pola korupsinya, sangat bergantung pada tingkatan atau jenjang penyelenggara.
"Untuk menghilangkan korupsi di sektor pendidikan harus dilakukan dengan cara mendorong partisipasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan," katanya.
Pandangan serupa disampaikan Ketua Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan) Djumono. Dia melihat kecenderungan pungutan di tingkat SD yang bersifat insidentil. Artinya, tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu dari guru untuk membayar pungutan tersebut. "Tiba-tiba saja, anak kami minta ada pungutan macam-macam. Saat kami konfirmasi ke guru, mereka bilang itu kewajiban dari atasan, bukan wewenangnya (guru,Red)," katanya.
Dikatakan, pengadaan LKS untuk para murid sebenarnya sangat membodohkan siswa. Karena dengan LKS, guru hanya berpedoman pada LKS tersebut dan meminta para siswa untuk mengerjakan tanpa bimbingan yang berarti. "Seringnya sekarang, kalau ada LKS, guru Cuma perintah kerjakan, lantas ditinggal pergi tanpa ada bimbingan teori," ucapnya.
Sedangkan, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi menegaskan pendidikan adalah hak. Negara, dalam hal ini pemerintah, berkewajiban untuk memenuhi hak dari setiap anak di negeri ini.
Menurutnya, dengan meletakkan pendidikan sebagai hak, seharusnya pemerintah memberikan yang terbaik bagi penerima hak, bukan saja kuantitas, tetapi juga kualitasnya. "Meletakkan pendidikan sebagai sebuah hak, ini juga memposisikan pendidikan sebagai sebuah kebutuhan bersama. Pendidikan bukan menjadi sebuah perdagangan jasa, namun menjadi sebuah solidaritas pemenuhan hak berkehidupan," tegasnya.
Dikatakan, pemerintah sudah saatnya mengembalikan roh pendidikan pada wilayah asasi manusia. Pengaturan terhadap pengembangan bisnis pendidikan, penguatan kualitas lembaga pendidikan formal, serta membuka peluang keberagaman kurikulum, menjadi hal yang mendesak untuk dilaksanakan.
Pendidikan sebagai sebuah hak, juga harus ditempatkan pada kebebasan berekspresi bagi anak dalam menjalani proses pendidikan, dengan tidak memisahkan dunia anak pada sebuah kotak tertutup bernama sekolah, serta menjadikan alam sekitar sebagai wahana pendidikan yang harus terus dikembangkan.
Optimistis
Di tengah pesimisme penuntasan wajar dikdas, pemerintah justru optimistis program itu akan selesai tahun ini, seiring dengan pencapaian angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP) yang hampir mencapai 95 persen.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, seusai membuka "Rembuk Nasional Pendidikan" 2008 di Sawangan, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu mengatakan saat ini APK sudah mencapai 92,52 persen. Kemudian, pada Agustus 2008 bisa mencapai 95 persen.
Menurut dia, secara nasional sebetulnya cukup optimistis target tersebut dapat tercapai. Bahkan, ada provinsi yang sudah melampauinya, seperti Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Barat.
Senada dengannya, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto menyatakan wajar dikdas sembilan tahun sudah tinggal sedikit lagi dan akan tuntas pada tahun ini karena sudah mencapai 92,52 persen. Pemerintah hanya mempunyai pekerjaan rumah penuntasan program sebesar 2,48 persen lagi.
Pada 2007, APK jenjang SMP yang mencapai 95 persen tercatat di 187 kabupaten dan 11 provinsi. Kemudian yang masuk kategori tuntas utama 90 hingga 95 persen sebanyak 56 kabupaten dan 4 provinsi. Sementara 111 kabupaten/kota dan 7 provinsi, masih harus berjuang agar bisa masuk kategori madya-pratama karena APK-nya masih kurang dari 80 persen.
Menurut Suyanto, kantong-kantong wajar dikdas itu harus dituntaskan. "Walaupun tinggal menuntaskan 2,48 persen, itu justru yang paling susah karena anak-anak itu memiliki kendala yang luar biasa dilihat dari aspek kultural, sosiologis, geografis, maupun ekonomi," ujar Suyanto.
Upaya untuk mengejar sisa pemenuhan target APK SMP sebanyak 2,48 persen itu dilakukan melalui advokasi, asistensi, dan penjelasan kepada masyarakat. Advokasi itu memanfaatkan sarjana masuk ke desa dalam bentuk program kuliah kerja nyata (KKN). Selain itu, pihaknya juga memanfaatkan dharma wanita, PKK, dan organisasi sosial-kemasyarakatan.
Suyanto menegaskan program wajar dikdas harus tuntas tahun ini. Apalagi, beberapa pemerintah daerah merespons luar biasa program tersebut.
Data yang ada menunjukkan, lima provinsi dengan APK tertinggi adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Jawa Timur, dan Aceh. Sementara lima provinsi dengan APK terendah adalah NTT, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Barat.
Kabupaten/kota yang paling tinggi APK-nya adalah Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Magelang (Jawa Tengah), Kota Cilegon (Banten), Kota Palopo (Sulawesi Selatan), Kota Jakarta Selatan (DKI Jakarta), Kota Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Kota Bukittinggi (Sumatera Barat), Kota Padang Sidempuan (Sumatera Utara). Sedangkan, 10 kabupaten/kota yang terendah APK-nya adalah Kabupaten Kapuas (Kalimantan Tengah), Kabupaten Sumba Barat (NTT), Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah), Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Tolikara, dan Kabupaten Yahukimo (Papua), Kabupaten Kaimana, Kabupaten Mappi, Kabupaten Raja Ampat (Papua Barat).
Untuk mengubur pesimisme yang dilontarkan berbagai pihak, pemerintah dalam hal ini Depdiknas harus proaktif untuk mengeliminasi segala bentuk korupsi dan pungli di semua jenjang pendidikan atau program bergengsi, wajar dikdas ini akan gagal. *
Sumber Suara Pembaruan, edisi Rabu 27 - 02 - 2008
0 komentar:
Posting Komentar