Penulis adalah staf Peneliti PAPPIPTEK – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,
Alumnus FISIP – Univ. Sriwijaya Palembang
Tulisan ini telah dipublikasi di Sriwijaya Post, edisi Kamis 15 Mei 2008
JELANG pemilihan kepala daerah langsung bulan Oktober mendatang. Berbagai strategi tentu telah disiapkan oleh masing-masing kandidat yang akan bertarung di pesta demokrasi untuk menentukan orang nomor satu di provinsi ini. Strategi itupun diarahkan untuk menghimpun suara sebanyak-banyaknya.
Dari 5,1 juta pemilih yang terdata di KPUD Sumatera Selatan hingga Februari 2008, terdapat 500 ribu jumlah pemilih pemula di wilayah ini. Jika dihitung-hitung maka sekitar 9,8 persen suara pemilih pemula yang akan beredar dalam kancah pemilihan. 9,8 persen bukanlah angka yang kecil. Justru ini adalah suara yang cukup potensial untuk digarap.
Dalam undang-undang pemilihan umum, pemilih pemula adalah mereka yang telah berusia 17-21 tahun, yang telah memiliki hak suara dalam pemilihan umum (dan Pilkada). Layaknya sebagai pemilih pemula, mereka selalu dianggap tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya. Namun, ketiadaanpengalaman bukan berarti mencerminkan keterbatasan menyalurkan aspirasi politik. Mereka tetap melaksanakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara.
Pemilihan kepala daerah (langsung) merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat pemilu itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik di suatu wilayah dengan memberikan suara secara langsung dalam bilik suara. Dengan demikian meskipun hanya pemula, tetapi partisipasi mereka ikut menentukan arah kebijakan wilayah Sumatera Selatan ke depan.
Pengalaman pilkada dibeberapa daerah, pemilih pemula adalah sasaran yang menjadi perburuan suara para calon. Tak jarang berbagai carapun dilakukan untuk bisa menghimpun suara mereka. Pendidikan politik yang masih rendah di kalangan pemilih pemula adalah sumber masalah yang cukup signifikan dalam proses pilkada, tak jarang suara mereka diarahkan kepada pasangan calon dengan membawa muatan-muatan atau jargon-jargon tertentu.
Pemilih pemula yang baru mamasuki usia hak pilih pastilah belum memiliki jangkauan politik yang luas untuk menentukan ke mana mereka harus memilih. Sehingga, terkadang apa yang mereka pilih tidak sesuai dengan yang diharapkan. Alasan inipula yang menyebabkan pemilih pemula sangat rawan untuk digarap dan didekati dengan pendekatan materi. Ketidaktahuan dalam soal politik praktis, terlebih dengan pilihan-pilihan dalam pemilu atau pilkada, membuat pemilih pemula sering tidak berpikir rasional dan lebih memikirkan kepentingan jangka pendek.
Disisi lain, ada beberapa faktor yang juga turut berpengaruh terhadap pilihan para pemilih pemula, dari sebuah studi yang pernah dilakukan terungkap bahwa afiliasi politik orang tua mempunyai pengaruh yang kuat. Apabila orang tua mereka aktif dalam partai politik yang mengusung salah satu calon, terutama sebagai pengurus partai maka besar kemungkinan si anak untuk ikut. Begitu juga terhadap figur tokoh dan identifikasi politik yang diusung, variabel agama dan isu-isu politik/program dari calon ternyata tidak begitu besar pengaruhnya dalam menentukan pilihan politiknya.
Sebagai generasi yang dianggap baru dalam proses pemilihan, pemilih pemula memiliki energi potensial cukup kuat untuk melakukan perubahan. Kaum pemilih pemula yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, atau pemilih dengan rentang usia 17-21 tahun sebenarnya di satu sisi menjadi segmen yang memang unik, seringkali memunculkan kejutan, dan tentu menjanjikan secara kuantitas. Unik, sebab perilaku pemilih pemula dengan antusiasme tinggi, relatif lebih rasional, haus akan perubahan, dan tipis akan kadar polusi pragmatisme.
Dari kecenderungan memilih tersebut, tidaklah mengherankan jika potensi munculnya golongan putih (golput) dari pemilih pemula sangat tinggi. Terlebih jika pada saat yang sama dihadapkan kepada kandidat calon kepala daerah yang kurang mendapat tempat di hati pemilih pemula. Ketiadaan pilihan kandidat kepala daerah yang dirasa pemilih pemula mampu membawa perubahan dengan rekam jejak serta program yang pas di hati pemilih pemula.
Sebaliknya jika tampak kandidat yang dirasa sesuai dengan keinginan pemilih pemula tidaklah mengherankan jika kemudian memunculkan sejumlah kejutan politik. Contoh paling anyar adalah kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat.
Lalu akan lari kemana 9,8 persen suara pemilih pemula nanti? Memang tidak mudah untuk memperkirakan kemana suara-suara itu akan mengalir. Tampaknya program riil yang mampu ditawarkan sehingga mampu menarik minat. Jika ini gagal dimunculkan, bisa dipastikan golput adalah pilihan mereka dalam pilgub nanti. Karenanya program unggul yang mampu menarik minat, yang lenih riil dan implementatif, tidak sekadar jargon politik yang hambar dan terkesaan tidak membumi.(***)
0 komentar:
Posting Komentar