Oleh : P. Bhairawa Putera
Staf Pengajar (Tidak Tetap) FISIP – Univ. Sriwijaya, dan Bekerja di Puslit Perkembangan IPTEK – LIPI, Jakarta.
dimuat di Padang Ekspres, edisi Senin 28 April 2008
BEBERAPA waktu yang lalu Times Higher Education Supplement (THES) kembali mengumumkan daftar 500 perguruan tinggi terbaik di dunia. Percaya atau tidak akan hasil survei yang masih dipertanyakan oleh beberapa pakar pendidikan di negeri ini. Hanya enam perguruan tinggi kita yang masuk 500 besar tersebut. Keenam perguruan tinggi; UGM (360), ITB (369), UI (395), UNDIP, Univ Airlangga, dan IPB masuk dalam peringkat 401-500.
Ada hal menarik untuk dicermati, jika mengacu pada hasil survei yang sama dilakukan pada tahun sebeumnya. Tiga perguruan tinggi Indonesia masuk dalam jajaran 300 dunia; UI (250), ITB (258), dan UGM (270). Berselang satu tahun kemudian, tepatnya 2007 ketiganya merosot hingga peringkat mendekati 400 dunia. Beberapa pakar pun mempertanyakan dasar penentuan, dan jika dikaji dengan akal sehat ataupun penalaraan orang awam akan terasa sulit untuk diterima. Mungkinkah kualitas pendidikan di negeri ini turun naik.
Metode THES
Ada empat indikator yang menjadi dasar THES dalam surveinya. Kualitas Penelitian (Research Quality) yang diperoleh dari sebaran angket pada para akademisi menempati bobot terbesar (60%). Dua indikator yang dinilai adalah yang pertama dari hasil Peer Review. Disebarkan angket online ke 190.000 akademisi dimana mereka diminta mengisi pertanyaan berdasarkan bidang kepakaran mereka, yaitu Arts - Humanities, Engineering - IT, Life Sciences - BioMedicine, Natural Sciences dan Social Sciences. Kemudian mereka diminta memilih 30 universitas terbaik dari wilayah mereka sesuai dengan bidang kepakaran tersebut. Indikator kedua adalah Citations per Faculty, alias berapa banyak publikasi paper dari peneliti (professor) di univesitas tersebut dan jumlah citation (kutipan) berdasarkan data dari the Essential Science Indicators (ESI).
Kesiapan lulusan dalam dunia kerja (Graduate Employability) juga menjadi salah satu indikator. Kreterian ini memiliki bobot 10% dengan indikator penilaian Recruiter Review. Penilaian dilakukan berdasarkan hasil survey terhadap 375 perekrut tenaga kerja.
Selain itu jumlah program internasional dan jumlah masahasiswa internasional menjadi indikator yang termasuk dalam Pandangan Internasional (International Outlook) memiliki bobot 10%, dan yang terakhir adalah Kualitas Pengajaran (Teaching Quality) dinilai dari indikator rasio jumlah mahasiswa dan fakultasnya (Student Faculty). Bobot penilaian cukup signifikan karena mencapai 20%.
Jika ditelusuri lagi dari http://uniranks.unifiedself.com, THES tidak menjelaskan dasar teknik penarikan sampel serta penyebaran sampel yang ada. Dari 190.000 kuesioner yang dikirim hanya 3703 yang direspon (2006). Itu artinya hanya 1,94 persen saja dari total kuesioner. Jumlah tersebut pun lebih banyak ditentukan dari respon kemampuan untuk mengakses internet.
Penelitian tersebut tersebar paling banyak direspon oleh Amerika Serikat dan Inggris yaitu 532 respon dari Amerika Serikat dan 378 respon dari Inggris. Namun bagaimana dengan negara-negara Asia, tercatat hanya Malaysia yang merespon 112, Singapura 92 respon, Indonesia 93 respon dan China 76 respon. Selain dari hasil survei, data-data tambahan juga diambil dari organisasi World Scientific, Mardev, JobsDB (Philippines) dan JobStreet (Malaysia).
Nah, apakah terlepas dari pro dan kotra terhadap metode THES. Setuju kiranya dengan pendapat Geger Riyanto yang muncul di salah satu Koran nasional edis 23 Januari 2008, akan lebih arif jika lebih mawas, mengkaji terlebih dahulu survei-survei secara teliti, sehingga tidak salah nantinya dalam penentuan arah dan kebijakan pendidikan di negeri ini.
Potret Pendidikan
Bukan bermaksud menepikan ataupun menyetujui hasil survei yang telah dilakukan, tetapi pada akhirnya kita tidak punya pilihan lain dan potret pendidikan di negeri ini benar-benar tercitra dengan jelas. Bahkan dari data terbaru UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia mengalami penurunan empat tingkat dari 58 dunia menjadi 62 dari 130 negara di dunia dalam hal pendidikan. Education Development Index (EDI) kita adalah 0,935 di bawah Brunei (0,965) dan Malaysia (0,945).
Situasi dalam negeri pun ikut memperkuat asumsi akan potret pendidikan kita. Pemerataan akses pendidikan, terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah pertama, belum tercapai. Selain itu terjadi kesenjangan pemerataan akses pendidikan di masyarakat, teruatama yang tinggal di perkotaan dan pedesaan.
Siapa yang mesti dipersalahkan? Kalimat itu yang kemudian mencuat, tetapi sebelum mencari pihak yang mesti bertanggung jawab. Alangkah baiknya jika kita mencitrakan kondisi secara mendalam. Partama, Republik ini begitu kuat dengan POLITIK. Kata yang begitu mendarah daging disetiap elemen kehidupan bangsa. Sebut saja, pada tiap pemerintahan baru pasti akan berganti kurikulum atau dengan bahasa cantik “Kebijakan Pendidikan”. Diakui atau tidak, ini sudah menjadi realita di depan mata. (Sekadar catatan kurikulum yang pernah berlaku: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, Kurikulum 2006).
Kedua, Anggaran Pendidikan. Sebuah persoalan klasik jika berbicara tentang dana anggaran, tetapi kenyataan yang ada tidak dapat dipungkri. Minimnya dana sudah tentu akan menghambat proses pembangunan pendidikan baik infrastruktur maupun suprastruktur. Pada tahun 2008, pemerintah mengalokasikan sebesar 11,8 persen dari APBN untuk pendidikan. Semoga pengalaman tahun 2007, dimana dari Rp43,5 triliun anggaran pendidikan, 25 persen dihabiskan untuk birokrasi, bukan pada peningkatan mutu pendidikan tidak terulang.
Ketiga, Kondisi Sumber Daya Manusia. Tenaga-tenaga bermutu dengan tingkat keahlian mumpuni belum sebanding dengan jumlah tunas-tunas bangsa yang siap menerima ilmu pengetahuan. Ketidak merataan tenaga pendidik yang hanya terfokus di pusat-pusat pemerintahan (kota) dibandingkan daerah-daerah yang jayh dari kota semakin membuat buram potret pendidikan kita. Jika di kota satu mata pelajaran diajarkan oleh dua atau lebih tenaga pendidik, tetapi kondisi di daerah, satu tenaga pengajar akan mengajarkan lebih dari satu mata ajar. Kondisi ini berbanding terbalik, belum lagi tingkat keahlian (kompetensi) yang dimiliki.
Tiga faktor dominan tersebut cukup mewakili peliknya persoalan pendidikan, untuk itu guna menjadikan bangsaa ini cerdas, pintar dan terampil serta berilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan KOMITMEN yang lebih jelas dengan mengacu pada cita-cita luhur UUD 1945, jika ini masih mau dipegang.
Komitmen bisa dimanifestasikan dalam beberapa wujud, seperti keberanian pemimpin untuk memaksimalkan sektor pendidikan. Salut dan patut diancungkan jempol terhadap beberapaa kepala daerah yang telah berani melahirkan kebijakan pendidikan dengan program sekolah gratis di wilayah masing-masing, dan semoga semakin banyak daerah yang berani untuk menegakkan komitmen ini.
Wujud selanjutnya adalah partisipasi semua pihak untuk proaktif mendukung program-program pendidikan yang mencerdaskan serta aktif dalam pengembangan mutu pendidikan. Kita semua sadar betul bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap manusia, sehingga pendidikan tidak hanya bisaaa dinikmati oleh segelintir orang saja. Semoga di masa mendatang anggapan bahwa sekolah di negara maju (kapitalis) lebih murah dibandingkan di Indonesia, bahkan para mahasiswanya hanya menanggung 25-30 persen biaya pendidikan, begitu juga pada tingkat dasar – menengah dibebaskab dari biaya pendidikan. Kapan Indonesia bisa? Inilah pekerjaan rumah bagi kita yang mendiami gugusan pulau bernama Indonesia. Bagaimana dengan kita di tanah Minang ini?***
0 komentar:
Posting Komentar