wILAYAH SumAtera (klik di gambar)
segala info dan gambar diperoleh atau bersumber dari: www.21cineplex.com
AAC di Sumatera
Jadwal AAC Jakarta
Akhirnya muncul juga jadwal AAC alias Ayat-ayat Cinta,..
Untuk Wilayah Jakarta
segala info dan gambar diperoleh atau bersumber dari: www.21cineplex.com
Read Users' Comments (0)
2000 Pulau Indonesia akan Hilang
2/27/2008 08:11:00 PM | Label: berita pilihan
Kepala BRKP, Indroyono Susilo di Jakarta, Rabu mengatakan, pemanasan global yang terjadi saat ini telah menimbulkan efek gas rumah kaca yang berdampak pada peningkatan suhu bumi.
"Pemanasan suhu bumi tersebut akan menyebabkan es di kutub utara maupun kutub selatan akan melelah sehingga menambah tingkat permukaan air laut," katanya disela pemaparan rencana World Ocean Converence (WOC) 2009 di Manado Sulawesi Utara.
Pemaparan rencana WOC tersebut dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi selaku ketua panitia dan Gubernur Sulut, Sinyo Harry Sarundajang sebagai tuan rumah penyelenggaraan acara bertaraf internasional itu.
Indroyono memaparkan, pemanasan global dengan efek rumah kacanya yang berlangsung seperti saat ini akan menyebabkan kenaikan suhu bumi sekitar 1 derajat selsius dalam 100 tahun.
Dampak kenaikan suhu bumi tersebut, menurut dia, dalam 100 tahun permukaan laut juga mengalami peningkatan hingga 1 meter karena adanya penambahan air dari lelehan es di kutub utara maupun selatan.
"Dengan kondisi tersebut maka pada 2030 sedikitnya 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam begitu juga dengan kawasan Jakarta Utara," katanya.
Menurut dia, kondisi tersebut bisa diantisipasi dengan melakukan pengurangan emisi gas karbon yang merupakan salah satu faktor pemicu pemanasan global.
Salah satu upaya mengurangi gas karbon tersebut, lanjutnya, yakni dengan pemeliharaan biota laut seperti padang lamun, mangrove atuapun terumbu karang yang memiliki kemampuan menyerap gas karbon diudara hingga 246 juta ton per tahun.
Sementara itu dalam WOC 2009 yang mengambil tema "Ocean and Climate Change" dan "Climate Change Impact to Oceans and The Role of Oceans to Climate Change" itu diharapkan melahirkan "Manado Ocean Declaration" (MOD).
Selain itu juga akan dibentuk World Ocean Forum yang akan melaksanakan rencana aksi MOD maupun memantau perkembangan kesepakatan Manado tersebut.
Sementara itu untuk menyelenggarakan WOC 2009 Pemerintah Daerah Sulut telah mengalokasikan anggaran sekitar Rp110 miliar untuk perbaikan infrastruktur seperti pelebaran jalan, perbaikan bandara, perbaikan jaringan listrik.
Gubernur Sulut, Sinyo H Sarundajang mengatakan, dari dana sebesar itu Rp70 miliar untuk perbaikan infrastruktur diantaranya pelebaran jalan maupun perbaikan jaringan listri, selain itu Rp40 miliar untuk pengembangan bandara.
Pemda Sulut, tambahnya, juga menggandeng swasta untuk pembangunan Convention Hall yang berkapasitas 3000 orang yang dilengkapai 250 kamar berbintang untuk menampung para peserta, dua gedung pertemuan serta kompleks pameran pembangunan dan budaya dengan nilai investasi sekitar Rp300 miliar.
"Kami optimis pelaksanaan WOC ini mampu meningkatkan gairah ekonomi mapun menarik wisatawan ke Sulut baik sebelum maupun saat berlangsungnya WOC," kata Sarundajang yang juga Wakil Ketua Panitia WOC 2009.ant/ya
Sumber: Republika, 27 - 02 - 2008
Bahasa Ibu Harus Jadi Muatan Lokal
2/27/2008 08:07:00 PM | Label: berita pilihan
[JAKARTA] Bahasa ibu di sekolah-sekolah harus dijadikan sebagai bagian muatan lokal dalam kurikulum untuk melestarikan kekayaan budaya dari ancaman kepunahan. Di Indonesia ada 742 bahasa ibu, namun dari tahun ke tahun jumlahnya terus berkurang.
Bahasa ibu di Indonesia paling banyak yang punah.
"Berkurangnya bahasa ibu, antara lain sudah tidak ada penuturnya karena telah meninggal tanpa sempat menurunkan kemampuan bahasa tersebut kepada generasi berikut," ujar Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), Arief Rahman, pada peringatan "Hari Bahasa Ibu Internasional 2008", di Jakarta, Senin (25/2).
Hadir dalam acara tersebut, Kepala Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Dendy Sugono, Duta Besar Bangladesh Salma Khan, Duta Besar Sri Lanka Nanda Malla- waarachchi, serta per- wakilan dari India dan Pakistan.
Arief mengungkapkan, UNESCO sangat prihatin dengan ancaman kepunahan bahasa-bahasa ibu di dunia. Dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia, paparnya, terjadi penurunan jumlah bahasa ibu, seperti di Papua dari 273 bahasa menjadi 271 bahasa, di Sumatera dari 52 bahasa kini 49 bahasa, dan di Sulawesi dari 116 bahasa turun menjadi 114 bahasa.
Dia mengingatkan, jika bahasa ibu punah maka punah pula budayanya. Hal yang lebih memprihatinkan, katanya, adalah kemampuan bertutur dalam bahasa ibu yang punah akan mempengaruhi kemampuan membaca dan berbicara. "Ketika bahasa ibu sudah tidak digunakan maka ancaman baru dihadapi masyarakat, yakni dalam waktu cepat atau lambat mereka akan kembali menjadi buta aksara," tuturnya.
UNESCO sangat prihatin dengan kebijakan dan perhatian yang tidak sungguh-sungguh untuk mengatasi kepunahan itu karena generasi mendatang tidak memiliki lagi bahasa ibu. Dia menambahkan, UNESCO menjadikan tahun 2008 sebagai "Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional" untuk membangkitkan kepedulian pemerintah dan masyarakat dunia melawan buta aksara. [W-12]
Sumber: Suara Pembaruan, 25 - 02- 2008
Penuntasan Wajib Belajar Terancam
2/27/2008 07:58:00 PM | Label: berita pilihan
Pengantar
Secara umum, pendidikan di Indonesia masih tertinggal dibanding dengan negara maju, bahkan di kawasan ASEAN. Dalam upaya memajukan dunia pendidikan, pemerintah telah menetapkan program wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas). Wartawan SP Willy Masaharu menuliskan laporan seputar program itu, termasuk mengungkap masalah korupsi dan pungutan liar (pungli) yang masih terjadi hingga kini.
SP/Alex Suban
Siswa kelas V SDN Umbul Kapuk, di Desa Panggung Jati, Kecamatan Taktakan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten, terpaksa belajar di bawah tenda di halaman sekolah, Rabu (2/4). Tiga ruang kelas di sekolah itu terancam roboh dan miring. Bila hujan datang mereka harus berteduh di emperan kelas.
Sesuai amanat UUD 1945, pemerintah harus melakukan upaya-upaya mencerdaskan kehidupan bangsa dan melakukan upaya peningkatan kualitas dan kuantitas pendidikan. Kini, pemerintah tengah mempercepat penuntasan wajib belajar pendidikan dasar (wajar dikdas) sembilan tahun. Namun, di tengah upaya itu muncul ancaman, berupa praktik korupsi dan pungli yang masih terjadi lingkungan sekolah dan birokrat pendidikan. Akankah program prestisius wajar dikdas itu gagal karena korupsi dan pungli yang makin marak?
Saat ini, baik sekolah negeri maupun sekolah swasta, bahkan hingga ke tingkat perguruan tinggi dan lembaga pendidikan nonformal, muncul tawaran perolehan kualitas pendidikan yang disesuaikan dengan biaya pendidikan. Untuk sebuah sekolah plus setingkat SMP saja, tidak kurang dibutuhkan biaya setara dengan pendidikan sarjana strata dua (S2) di perguruan tinggi negeri. Upaya itu terkait dengan bisnis pendidikan atau lebih populer disebut komersialisasi pendidikan.
"Penuntasan wajar dikdas tidak akan berhasil selama korupsi dan pungli di sekolah masih berlangsung," kata Manajer Divisi Monitoring Pelayanan Publik Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan.
Dia mengatakan pungli dengan berbagai macam alasan di sekolah bukan merupakan barang baru. Terlihat sekali bahwa dunia pendidikan di negeri ini sudah menjadi lahan bisnis bagi banyak pihak. "Sekolah sudah menjadi lahan bisnis. Pendidikan telah dikomersialkan. Uang dalam Penerimaan Siswa Baru (PSB) diduga kuat banyak penyimpangannya dan penggunaannya tidak jelas," ujarnya.
Terkait hal itu, pemerintah diminta merevisi target untuk mengakhiri program wajar sembilan tahun pada 2008. Permintaan itu disampaikan setelah ICW menemukan indikasi kenaikan beban biaya orangtua akibat sejumlah uang pungutan di sekolah. Di sekolah dasar (SD) misalnya, beban biaya tak langsung orangtua bertambah karena semakin beragamnya pungutan yang dibebankan sekolah.
Survei ICW terhadap realisasi wajar sembilan tahun itu dilakukan di lima wilayah, yakni DKI Jakarta, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Garut, Kota Padang, dan Kota Banjarmasin. Dari hasil survei tersebut, biaya pendidikan seoorang siswa SD pada 2006 mencapai Rp 4.012.000. Namun pada 2007 bertambah menjadi Rp 4.768.950. "Kalau tak mau disebut membiarkan, kenaikan ini disebabkan kegagalan pemerintah untuk menekan terjadinya pungli," kata Ade.
ICW menyoroti berbagai biaya langsung dan tak langsung yang semakin beragam di tingkat SD. Pada biaya langsung, ICW menemukan pungutan terbesar ke setiap murid adalah pungutan kursus sekolah sebesar Rp 311.000 per anak, kemudian pengadaan lembar kerja siswa (LKS) dan buku teks sebesar Rp 145.000, dan pungutan-pungutan tak jelas, semacam infak harian, uang ujian, uang ekstrakurikuler, uang kebersihan, dan juga uang perpisahan. Padahal, dana-dana tersebut sudah dibebaskan oleh pemerintah melalui pemberian dana bantuan operasional sekolah (BOS) kepada sejumlah sekolah. Namun praktik di sekolah-sekolah masih menunjukkan adanya penyelewengan. Sedangkan di sektor biaya tak langsung, ICW menemukan penambahan beban terbesar ada pada biaya seragam dan juga biaya kursus di luar sekolah yang semakin marak.
Ade beranggapan kegagalan pemerintah dalam menyelesaikan wajar dikdas terkait dengan penyediaan sarana pendidikan dasar gratis untuk seluruh lapisan masyarakat, karena hal tersebut sudah menjadi amanat yang digariskan dalam UUD 45. "Kegagalan itu sebenarnya sudah dimulai dari tingkat Depdiknas, yang akhirnya menjalar menjadi berbagai penyelewengan di tingkat sekolah-sekolah," tegasnya.
Sistemik dan Berjemaah
Pendidikan di Indonesia sangat mahal? Ya, karena maraknya praktik korupsi pendidikan dan semua itu dilakukan secara sistemik dan berjemaah. Ade menuturkan, kasus-kasus korupsi pendidikan yang semakin lama semakin marak terjadi di semua tingkatan, mulai dari Depdiknas, Dinas Pendidikan, hingga sekolah.
Ia mengatakan praktik korupsi yang sistemik dan berjemaah itu mulai terdeteksi pada penerapan strategi pembiayaan yang didasarkan pada proyek wajib belajar. Model proyek tersebut memudahkan terjadinya korupsi. Sedangkan, jenis, jumlah, dan pola korupsinya, sangat bergantung pada tingkatan atau jenjang penyelenggara.
"Untuk menghilangkan korupsi di sektor pendidikan harus dilakukan dengan cara mendorong partisipasi dan transparansi dalam penyelenggaraan pendidikan," katanya.
Pandangan serupa disampaikan Ketua Aliansi Orang Tua Peduli Transparansi Dana Pendidikan (Auditan) Djumono. Dia melihat kecenderungan pungutan di tingkat SD yang bersifat insidentil. Artinya, tidak ada pemberitahuan terlebih dahulu dari guru untuk membayar pungutan tersebut. "Tiba-tiba saja, anak kami minta ada pungutan macam-macam. Saat kami konfirmasi ke guru, mereka bilang itu kewajiban dari atasan, bukan wewenangnya (guru,Red)," katanya.
Dikatakan, pengadaan LKS untuk para murid sebenarnya sangat membodohkan siswa. Karena dengan LKS, guru hanya berpedoman pada LKS tersebut dan meminta para siswa untuk mengerjakan tanpa bimbingan yang berarti. "Seringnya sekarang, kalau ada LKS, guru Cuma perintah kerjakan, lantas ditinggal pergi tanpa ada bimbingan teori," ucapnya.
Sedangkan, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Seto Mulyadi menegaskan pendidikan adalah hak. Negara, dalam hal ini pemerintah, berkewajiban untuk memenuhi hak dari setiap anak di negeri ini.
Menurutnya, dengan meletakkan pendidikan sebagai hak, seharusnya pemerintah memberikan yang terbaik bagi penerima hak, bukan saja kuantitas, tetapi juga kualitasnya. "Meletakkan pendidikan sebagai sebuah hak, ini juga memposisikan pendidikan sebagai sebuah kebutuhan bersama. Pendidikan bukan menjadi sebuah perdagangan jasa, namun menjadi sebuah solidaritas pemenuhan hak berkehidupan," tegasnya.
Dikatakan, pemerintah sudah saatnya mengembalikan roh pendidikan pada wilayah asasi manusia. Pengaturan terhadap pengembangan bisnis pendidikan, penguatan kualitas lembaga pendidikan formal, serta membuka peluang keberagaman kurikulum, menjadi hal yang mendesak untuk dilaksanakan.
Pendidikan sebagai sebuah hak, juga harus ditempatkan pada kebebasan berekspresi bagi anak dalam menjalani proses pendidikan, dengan tidak memisahkan dunia anak pada sebuah kotak tertutup bernama sekolah, serta menjadikan alam sekitar sebagai wahana pendidikan yang harus terus dikembangkan.
Optimistis
Di tengah pesimisme penuntasan wajar dikdas, pemerintah justru optimistis program itu akan selesai tahun ini, seiring dengan pencapaian angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP) yang hampir mencapai 95 persen.
Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo, seusai membuka "Rembuk Nasional Pendidikan" 2008 di Sawangan, Depok, Jawa Barat, beberapa waktu lalu mengatakan saat ini APK sudah mencapai 92,52 persen. Kemudian, pada Agustus 2008 bisa mencapai 95 persen.
Menurut dia, secara nasional sebetulnya cukup optimistis target tersebut dapat tercapai. Bahkan, ada provinsi yang sudah melampauinya, seperti Provinsi DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Barat.
Senada dengannya, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdiknas Suyanto menyatakan wajar dikdas sembilan tahun sudah tinggal sedikit lagi dan akan tuntas pada tahun ini karena sudah mencapai 92,52 persen. Pemerintah hanya mempunyai pekerjaan rumah penuntasan program sebesar 2,48 persen lagi.
Pada 2007, APK jenjang SMP yang mencapai 95 persen tercatat di 187 kabupaten dan 11 provinsi. Kemudian yang masuk kategori tuntas utama 90 hingga 95 persen sebanyak 56 kabupaten dan 4 provinsi. Sementara 111 kabupaten/kota dan 7 provinsi, masih harus berjuang agar bisa masuk kategori madya-pratama karena APK-nya masih kurang dari 80 persen.
Menurut Suyanto, kantong-kantong wajar dikdas itu harus dituntaskan. "Walaupun tinggal menuntaskan 2,48 persen, itu justru yang paling susah karena anak-anak itu memiliki kendala yang luar biasa dilihat dari aspek kultural, sosiologis, geografis, maupun ekonomi," ujar Suyanto.
Upaya untuk mengejar sisa pemenuhan target APK SMP sebanyak 2,48 persen itu dilakukan melalui advokasi, asistensi, dan penjelasan kepada masyarakat. Advokasi itu memanfaatkan sarjana masuk ke desa dalam bentuk program kuliah kerja nyata (KKN). Selain itu, pihaknya juga memanfaatkan dharma wanita, PKK, dan organisasi sosial-kemasyarakatan.
Suyanto menegaskan program wajar dikdas harus tuntas tahun ini. Apalagi, beberapa pemerintah daerah merespons luar biasa program tersebut.
Data yang ada menunjukkan, lima provinsi dengan APK tertinggi adalah DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Bali, Jawa Timur, dan Aceh. Sementara lima provinsi dengan APK terendah adalah NTT, Papua, Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Barat.
Kabupaten/kota yang paling tinggi APK-nya adalah Kota Yogyakarta, Kota Surakarta, Kota Salatiga, Kota Magelang (Jawa Tengah), Kota Cilegon (Banten), Kota Palopo (Sulawesi Selatan), Kota Jakarta Selatan (DKI Jakarta), Kota Palangkaraya (Kalimantan Tengah), Kota Bukittinggi (Sumatera Barat), Kota Padang Sidempuan (Sumatera Utara). Sedangkan, 10 kabupaten/kota yang terendah APK-nya adalah Kabupaten Kapuas (Kalimantan Tengah), Kabupaten Sumba Barat (NTT), Kabupaten Donggala (Sulawesi Tengah), Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Tolikara, dan Kabupaten Yahukimo (Papua), Kabupaten Kaimana, Kabupaten Mappi, Kabupaten Raja Ampat (Papua Barat).
Untuk mengubur pesimisme yang dilontarkan berbagai pihak, pemerintah dalam hal ini Depdiknas harus proaktif untuk mengeliminasi segala bentuk korupsi dan pungli di semua jenjang pendidikan atau program bergengsi, wajar dikdas ini akan gagal. *
Sumber Suara Pembaruan, edisi Rabu 27 - 02 - 2008
Read Users' Comments (0)
LOVE
2/27/2008 11:31:00 AM | Label: info film
Rama, lelaki muda sederhana yang bekerja di percetakan, dan Iin yang dibantu Rama selama pencarian kekasihnya di Jakarta. Masa lalu yang hampir sama, mempersatukan mereka, membuat mereka berani mengejar hari esok.
Tere dan Awin. Penulis wanita yang sukses bertemu dengan penjaga toko buku dan jatuh cinta. Ketika kemudian ketakutan Awin untuk mencintai muncul, Tere sebaliknya membuka mata Awin bahwa cinta tak semestinya dibatasi.
Restu dan Dinda. Seorang mahasiswa yang menjalani hidup dengan santai dan riang, jatuh cinta pada pandangan pertama. Walaupun pertemuan mereka hanya sebentar dan Dinda akhirnya pergi untuk selama-lamanya, cinta mereka tetap ada dan tidak ikut mati.
Gilang dan Miranda, pasangan muda yang memasuki usia pernikahan delapan tahun, dengan anak mereka Icha, seorang anak autism yang membutuhkan kedua orangtuanya melewati hidup yang tak mudah. Sementara Gilang dan Miranda sendiri harus menerima kenyataan bahwa pernikahan mereka pun punya masalah. Pada akhirnya ketika Gilang merelakan Miranda pergi, dia menemukan cinta sejati di suatu hari yang tak terduga
Adalah takdir yang mempertemukan mereka, di tengah belantara kota Jakarta, bertemu dalam persimpangan-persimpangan hidup yang penuh kejutan, dituntun oleh sesuatu yang selama ini dibilang buta padahal ia punya mata yang tidak dimiliki manusia… CINTA…
Jenis Film :DRAMA/ROMANCE,
segala info dan gambar diperoleh atau bersumber dari: www.21cineplex.com, dan www.ruangfilm.com
Bahasa Indonesia Diajarkan di 73 Negara
2/26/2008 10:22:00 AM | Label: berita pilihan
Jakarta, Kompas - Bahasa Indonesia semakin diminati warga asing di luar negeri dan telah diajarkan setidaknya di 73 negara. Tenaga pendidik bahasa Indonesia untuk luar negeri juga semakin dibutuhkan.
Koordinator Program Pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing di Biro Perencanaan dan Kerjasama Luar Negeri Departemen Pendidikan Nasional Pengesti Wiedarti, Rabu (23/1), mengatakan, permintaan terhadap tenaga pendidik bahasa Indonesia juga ternyata terbilang cukup banyak.
Pengiriman tenaga pendidik bahasa Indonesia ke luar negeri tersebut tergantung dari bentuk kerja sama antarnegara dan lembaga di berbagai bidang.
Saat ini terdapat sekitar 219 lembaga yang mengajarkan bahasa Indonesia untuk penutur asing di 73 negara. Terbanyak terdapat di Jepang, Australia, Amerika, dan Jerman. Lembaga tersebut umumnya tempat kursus, universitas, sekolah, dan sekolah Indonesia di luar negeri.
Di universitas, tenaga pengajar itu dibutuhkan oleh program studi linguistik, budaya, studi tentang Asia, atau studi tentang Indonesia. Banyaknya permintaan itu tergantung pula dari kerja sama Indonesia dengan negara-negara lain.
Pembelajaran bahasa tersebut diminati orang luar negeri yang akan bekerja, belajar, atau mengunjungi Indonesia. Selain itu, bahasa Indonesia juga dibutuhkan untuk mereka yang mempelajari budaya atau sosial di Indonesia.
Beasiswa
Pangesti Wiedarti mengatakan, dahulu biasanya mahasiswa asing yang tertarik dapat belajar bahasa, seni, tradisi, atau kriya ke Indonesia melalui mekanisme beasiswa Darmasiswa yang telah diselenggarakan sejak tahun 1974. Tahun 2007 terdapat sekitar 400 mahasiswa yang menjadi peserta program beasiswa itu dari berbagai negara. Namun, untuk promosi bahasa dan budaya tersebut sekarang juga diadakan pengiriman tenaga pengajar bahasa Indonesia ke luar negeri.
”Ini merupakan kesempatan bagi kita untuk mempromosikan bahasa dan budaya Indonesia di luar negeri,” ujarnya.
Kepala Subbag Beasiswa RI dan Tamu Asing Departemen Pendidikan Nasional Medi Arintoko mengatakan, untuk tahun 2008 ditargetkan jumlah penerima beasiswa Darmasiswa untuk belajar selama enam bulan hingga satu tahun di Indonesia sebanyak 750 orang.
”Beasiswa ini menjadi bagian dari upaya promosi tentang Indonesia di luar negeri. Harapannya, nantinya ada kerja sama juga antara universitas di luar negeri (tempat asal penerima beasiswa) dan universitas penerima mahasiswa asing di Indonesia,” ujarnya. (INE)
Kerancuan Berbahasa (2)
Oleh : R. Panji Bhairawa
BAHASA menunjukkan bangsa, sebuah kalimat yang begitu membekas dan menjadikan kekuatan besar jika kita benar-benar memahaminya. Orang muda, sebuah tahapan dalam perjalanan hidup. Acap melupakan bahkan sengaja untuk melupakan identitas aslinya. Namun, jika kita sadar bahwa bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sekaligus objek perkembangan budaya masyarakat dan bangsa.
Mari sama-sama kita kaji lebih mendalam. Bahasa sebagai alat, ia membentuk persepsi seseorang terhadap objek yang dibahasakan. Sebagai penanda (signifie), ia merepresentasikan petanda (signifiant) yang ingin dibahasakan. Sebagai objek, perkembangan bahasa–termasuk di dalamnya adalah pola pengucapan, kesantunan berbahasa–dalam masyarakat mempengaruhi dan dipengaruhi perkembangan kultur masyarakat tersebut. Bahkan pada tingkat tertentu, tingkat keberadaban sebuah komunitas bisa dilihat dari pola berbahasa yang ada di komunitas tersebut; bahasa pesisir berbeda dengan bahasa pedalaman, bahasa kota berbeda dengan bahasa kampung, dan sebagainya.
Lantas, bagaimana kegiatan berbahasa pada orang-orang muda? Seperti yang saya kemukakan sebelumnya, begitu banyak temuan-temuan kerancuan bahasa di ruang generasi muda.
Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa dialek Jakarta turut hadir dalam kehidupan sehari. Kini tercipta situasi akut pada ruang berbahasa pada orang-orang muda, keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali.
Lihatlah nama acara-acara di stasiun-stasiun televisi, siaran nasional, dan daerah. Perhatikanlah ucapan-ucapan pembawa acara (mereka menyebutnya presenter) di layar kaca. Dengarlah dengan cermat bahasa mereka yang sehari-hari tampil di televisi, dalam acara apa pun.
Dengarlah nama-nama acara di stasiun-stasiun radio siaran. Bacalah nama-nama rubrik di media massa cetak. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nonfiksi yang dijual di toko-toko buku, di pasar buku, atau di kaki lima sekalipun.
Tiap detik dengan mudah kita mendengarkan bahasa buruk. Contohnya, gue banget, thank you banget, ya!, please, eh, jangan ngomongin aib pacarnya dia, demikian laporan reporter kami, dia presenter, sampai jumpa pada headline news satu jam mendatang, To day’s dialouge kita malam ini..., Top nine news, Top of the top, kita harus bekerja sesuai dengan rundown.”
Semakin lama semakin banyak orang yang berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tidak mengindahkan norma atau aturan berbahasa yang berlaku resmi. Kalau benar isi pepatah lama, “Bahasa menunjukkan bangsa”, maka untuk mengetahui dan mengurai “wajah” negara dan bangsa kita kini tak usah mendatangkan ahli dari Amerika Serikat atau Australia.
Mengobati “penyakit” berbahasa yang sudah parah diperlukan usaha bersama semua pemangku kepentingan bahasa Indonesia untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang Indonesia. Warga negara yang sangat bangga sebagai orang Indonesia tentunya (seharusnya) juga mencintai bahasa nasionalnya sendiri. Kita, putra-putri Indonesia abad 21, yang benar-benar mencintai bahasa Indonesia pastilah menjungjung tinggi bahasa persatuan kita. Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Kebahasaan yang dibuat tahun lalu.***
Read Users' Comments (0)Kerancuan Berbahasa (1)
Kerancuan Berbahasa (1)
Oleh : R. Panji Bhairawa
DALAM sebuah seminar bulanan yang pernah saya ikutin akhir pertengahan tahun 2007 yang lalu, pada salah satu fakultaas di Perguruan Tinggi ternama di kota ini. Banyak sekali orang muda yang hadir dan ikut mengutarakan pendapat dalam forum tersebut. Satu persatu saya dengarkan setiap pendapat mereka, tidak lama kemudian saya kebingungan. Tanpa saya sadari mereka begitu asyik dengan bahasa masing-masing. Ada yang senang mencampurkan bahasa inggris di setiap pembicaraanya, ada juga bahasa Minang yang ikut dicampur adukkan, bahkan bahasa Indonesia, inggris dan Minang menjadi satu dalam satu kalimat yang ia ucapkan. Lalu, diam-diam dalam hati saya bertanya. “Ada dimanakah saya sekarang?” kebingungan. “Ya,..Kebingungan!!!”
Saya kemudian berpikir, jika bahasa yang tadi saya dengar adalah ragam sayuran akan begitu enak bila dicampurkan apalagi bila ditambah bumbu kacang – maka jadilah pecel atau gado-gado lalu disantap. Tentunya akan terasa nikmat, tetapi bahasa bukanlah ragam sayuran, dan bila dicampur adukkan maka penafsiran ganda pun akan muncul.
Saya masih kebingungan, sesaat saya teringat akan pelajaran di bangku SMA. Guru bahasa Indonesia saya berkata bahwa dalam setiap masyarakat, bahasa selalu ditemukan dua jenis pola berbahasa; resmi dan pergaulan, fushah dan amiyah dalam istilah bahasa Arab. Bahasa resmi biasanya diidentifikasi sebagai bahasa yang dipakai dalam surat menyurat resmi, bahasa pengantar lembaga pendidikan, pidato-pidato para pejabat, buku-buku dan tulisan ilmiah, serta pemberitaan media massa. Sementara bahasa pergaulan dipakai kebanyakan dalam tataran lisan; percakapan sehari-hari, komedi situasi, serta orasi-orasi umum. Secara sederhana, orang mengidentifikasi bahasa pergaulan ini sebagai “bahasa pasar” atau orang muda lebih senang mengatakan “bahasa gaul”
Tapi betulkah dua kategorisasi pola berbahasa itu berlaku dalam realitas kita? Entah siapa yang memulai, kita belakangan sering menemukan bahasa pasar dalam surat-surat resmi, pidato-pidato kenegaraan, berita dan tulisan-tulisan di koran. Begitu juga sebaliknya, kita kadang harus tertawa mendengar “bahasa resmi” dipakai seseorang dalam pergaulan, entah karena ia “orang daerah” atau “orang asing“ yang baru belajar ber-“bahasa Jakarta”, atau karena memang ia nggak gaul.
Beberapa bulan kemudian saya mendengar bahwa di tingkat propinsi ini akan diadakan pemilihan Duta Bahasa yang dipilih dari perwakilan orang muda. Sebuah kegelisahan yang mungkin akan segera teratasi dengan hadirnya mereka. Walaupun dalam hati kecil saya masih bertanya “apa itu Duta Bahasa ?”
Dalam suatu kesempatan, lantaran masih bingung dan makin bingung dengan adanya istilah “Duta Bahasa”. Mr. Google pun menjadi sasaran pertanyaan. Berdasarkan hasil penelusuran, baru sedikit pencerahan saya dapatkan. Duta Bahasa, merupakan implementasi dari tekad dan semangat pemuda, melalui pemilihan sepasang pemuda wakil propinsi yang mahir berbahasa Indonesia, yang menjunjung tinggi bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. begitulah kalimat yang muncul dari salah satu artikel yang saya baca. Sebuah tugas yang mulia dalam pikiran saya.
Semangat mulai saya kobarkan, dengan sedikit tanpa malu beberapa rekan saya tawarkan untuk mengikuti pemilihan tersebut. Namun, saya terkejut, dan karena kurang lengkap saya membaca info. Ternyata pemilihan tersebut masuk dalam pemilihan Uda-Uni Sumatera Barat. Rasa bersalah dengan rekan-rekan harus menuntut saya menyampaikan maaf, tetapi tekad terus dikobarkan.
“Semoga tahun depan!” begitulah kalimat yang sedikit membesarkan mereka.
“Tapi harus ikut menjadi Uda-Uni dulu?” saya terdiam hingga sekarang.
Terlepas dari itu semua, dalam diri mulai tumbuh kesadaran untuk berbahasa Indonesia dengan baik, benar, dan indah. Ketika berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik! Ketika berbahasa daerah, berbahasa daerahlah dengan baik! Ketika berbahasa nasional, berbahasa nasional dengan baik pula!, dan tentunya para Duta Bahasa terpilih tersebut.***
Public Lecture
2/04/2008 03:13:00 PM | Label: info kegiatan
Public Lecture: Islam dan Politik di Indonesia Menjelang Pemilu 2009
PMB LIPI bekerja sama dengan Mizan, Mengundang Bapak/Ibu/Sdr./i menghadiri:
PUBLIC LECTURE: ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA MENJELANG PEMILU 2009
Prof. Greg Fealy (Peneliti Bidang Kajian Asia Tenggara di Australia National University, Canberra)
Pembahas:
Yudi Latif, Ph. D. (Direktur Eksekutif Reform Institute)
Moderator:
Putut Widjanarko, Ph.D. (Vice President Mizan)
Rabu, 6 Februari 2008
Jam 09.30 - 12.00 WIB
Auditorium LIPI
Gedung Widya Graha Lantai 1
Jl. Gatot Soebroto No. 10
Jakarta Selatan 12710
Informasi
Rista (022-7834310)
Lina (021-75915762)