Bangsa Berbudaya: Suatu Ilusi Atau Intuisi
Oleh: Prakoso Bhairawa Putera S
Pemerhati Masalah Sosial Budaya, Staf Unit Penelitian FISIP Univ. Sriwijaya
Catatan : Tulisan ini telah dipublikasi di Bangka Pos, edisi Kamis 29 November 2007
DEWASA ini kehidupan bangsa yang majemuk mengalami krisis. Reduksi sikap toleransi dan pengertian untuk saling memahami satu sama lain (mutual respect and mutual understanding) telah nyata mengancam pluralisme kebangsaan. Hilangnya kesadaran untuk saling menghargai dalam ruang publik telah menyurutkan langkah konkret mewujudkan persatuan yang sinergis. Bahkan, setiap kelompok (primordialistik) menunjukkan apatisme sosial yang saling berlawanan. Ketiadaan mediasi serta solusi penyelesaian terhadap masalah ini justru akan membawa jurang perpecahan yang semakin lebar, dan akhirnya tidak jelas juntrungannya.
Ironi pluralisme yang terkoyak tersebut jelas menjadi defisit demokrasi serta demokratisasi kehidupan bangsa. Bukan saja sikap memutlak-mutlakan secara logis bertentangan dengan logika demokrasi, namun lebih dari itu demokratisasi gagal justru melalui ketidakmampuan publik mengembangkan inklusivisme sosial yang mengarah ke perwujudan pluralisme yang sejati. Demokrasi merupakan "balairung" dari berbagai pintu kelompok yang amat beragam. Demokrasi bukan dimainkan melalui kekuasaan oligark yang menghasung perbedaan. Setiap kelompok yang berbeda, dalam demokrasi, mestinya bermain secara fair dan rasional dalam kontestasi yang terbuka dan dialogis-partisipatif. Keluwesan disertai strategi perekatan sosial merupakan arena demokrasi yang sejati.
Hidup di negeri yang berslogan gemah ripah loh jinawi ini sepertinya tidak mudah lagi. Menghidupi diri tidak dengan gampang layaknya menanam kayu yang kemudian tumbuh dan dapat diolah menjadi bahan makanan seperti yang sering diajarkan nenek moyang. Mencari lahan untuk tinggal pun kita nampak harus membayar tinggi jika tidak ingin kebagian tempat di bantaran kali atau tersudut di pojok hutan sambil menunggu digugat oleh petugas dan dimintai biaya untuk administrasi tanah. Bahkan kehidupan nyaman pun tak luput dari tragedi alam hingga lantas berhadapan dengan selalu semrawutnya penanganan pemerintah yang bahkan semakin memperlambat proses bantuan yang secara tulus disalurkan.
Namun, di satu sisi bangsa ini adalah bangsa yang sarat akan budaya atau lebih dikenal sebagai bangsa yang berbudaya. Ironisnya, saat ini keragaman tersebut mulai menjadi pokok permasalahan. Keragaman yang mendasari pluralitas hidup bernegara menjadi tak terbendung. Kedaerahan sama halnya budaya dan agama dengan keragamannya menyuburkan pluralitas. Kelompok politik dengan garis primordialnya menekankan unsur pluralitas. Peraturan dan Undang-undang baru memupuk pluralitas. Sadar akan hak-hak individu dan kelompok membuat setiap hal bisa “dimanfaatkan”.Cara pandang dan cara hidup yang modern meninggalkan akar tradisionalnya. Pendek kata situasi bernegara kita sekarang ini diwarnai oleh cara pikir sektarian atau yang mengkotak-kotakkan, tanpa menafikan masih adanya banyak juga warna kebangsaan.
Cara Hidup dan Cara Pikir Kekinian
Dunia modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kita untuk semakin dekat “jarak” satu sama lain. Sarana komunikasi yang begitu canggih dan cepat berkembang berkat kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi membuat begitu cepatnya kontak antar bangsa, negara, budaya dan agama, dengan semakin mudahnya kita mengadakan kontak satu sama lain, maka kita juga saling mempengaruhi dalam satu dan lain cara dan semakin beragamlah tawaran-tawaran yang kita hadapi. Pengaruh ini juga bisa berarti sangat positif.
Mengingat adanya pengaruh baik yang negatif maupun positif dari ilmu pengetahuan dan teknologi serta cepatnya menyebar suatu berita dan kejadian, maka apapun yang kita lakukan, pendeknya, mempunyai akibat entah besar atau kecil, terhadap keseluruhan arah perkembangan manusia di bumi ini. Kita adalah pelaku-pelaku yang aktif dalam memblokir perkembangan, dalam membantu perkembangan, dalam menentukan arah perkembangan. Dalam rangka menyongsong masa depan sebagai kaum terdidik sangat bertanggungjawab untuk melihat kecenderungan dan akibat jaman kita, untuk mempertimbangkan reaksi atas berbagai macam bentuk kontak dan keragaman, agar kita dapat menentukan sikap yang bijak.
Mendasarkan diri pada realitas yang benar manusia yang berdimensi religius dan sosial akan dapat dapat membangun dirinya secara utuh dan benar. Arah atau cita-cita yang luhur berdimensi religius dan sosial inilah yang hendaknya menarik dan mengarahkan berkembangan umat manusia. Kenyataan tanpa ditarik oleh suatu cita-cita yang luhur dapat mengalami stagnasi atau akan mengalami penyelewengan dari cita-cita dasar manusia. Sedangkan kenyataan yang didorong sekaligus dipancing oleh cita-cita yang luhur dan wajar akan mengalami perkembangan yang berarti dan bermanfaat. Cita-cita atau apa yang diidealkan itulah yang mendorong dan mempengaruhi arah perkembangan.
Dalam kerangka cita-cita menyongsong kehidupan lebih baik kita mencoba untuk menganalisis kenyataan kultural-sosiologis, dengan demikian terlihat hubungan dialektika antara kenyataan dan cita-cita, sehingga mampu melihat realitas masyarakat kita dengan lebih jeli serta kritis. Menghadapi keragaman pengaruh dan tawaran setiap pribadi atau negara secara sadar atau tidak akan menentukan sikap. Ternyata bagaimanapun juga setiap pribadi secara sadar atau tidak sadar harus mengambil suatu sikap tertentu. Sikap ini karena ia ambil haruslah juga ia secara pribadi mempertanggung-jawabkannya. Maka kelihatan adanya keragaman yang luar biasa dalam sikap-sikap pribadi tersebut. Pertama karena orang begitu mengagumi yang dari luar beserta budaya, termasuk unsur religiusnya, orang dapat tercabut dari akar budayanya. Yang baik adalah yang dari luar. Yang baik adalah unsur-unsur baru. Coba bandingkan kita lebih senang lagu-lagu macam apa dibanding dengan misalnya musik gamelan atau wayang? Karena tercabut dari akar budaya dan tidak mempunyai pegangan yang mantap, orang tidak tahu lagi ke mana melangkah. Sehingga terjadi salah langkah atau salah tingkah. Atau orang bersifat apatis. Toh semua ada unsur baik atau buruknya maka ya sudahlah. Ini suatu sikap yang berbahaya yang bisa menghinggapi generasi yang kurang kritis dan terlalu silau terhadap kemajuan atau pengaruh asing dalam semua seginya.
Kedua orang dapat mereaksi keragaman tersebut dengan menutup diri, terkukung dalam angan-angan, terpenjara oleh pikiran-pikiran palsu, terantai oleh yang serba ortodoks atau tradisional. Orang-orang tersebut akan gamang dalam menyaksikan perkembangan dan mencoba untuk menarik diri. Bahkan orang-orang tersebut bisa sinis terhadap perkembangan. Terlebih lagi orang-orang yang demikian bisa memusuhi orang-orang lain yang menganggap bahwa perkembangan sesuatu yang harus digapai. Boleh jadi orang atau bangsa itu berpandangan bahwa yang terbaik itu saya atau kami. Pokoknya yang terbaik sukuku, yang terpandang agamaku, yang terkenal pulauku, yang hebat universitasku. Kata “ku-ku-ku” ini bisa diperpanjang sampai ke ha-hal yang sangat kecil dan tidak relevan, sehingga pluralitas beranak-pinak. Unsur yang baik itu berlaku untuk segala segi budaya dan agama. Boleh jadi karena orang tidak siap menghadapi kemajuan atau curiga lalu menutup diri terhadap pengaruh dan tawaran. Orang atau bangsa lalu bersikap eksklusif, kalau tidak dari saya atau kami itu tidak baik, titik. Dalam situasi yang demikian misalnya orang akan sangat peka terhadap kritik, bahkan yang positif. Orang dapat membela diri secara tidak wajar. Orang dapat mengatakan bahwa pers asing itu tidak baik, yang baik adalah pers Indonesia yang bertanggung-jawa alias tidak berani mengkritik atau menulis seperti apa adanya. Karena menutup diri maka orang itu menjadi sangat sensitif terhadap pengaruh dan tawaran dari luar, menolak bahkan ofensif.
Ketiga, orang atau bangsa yang berpribadi dewasa, integral dan kuat berani mempelajari/mengenal pengaruh dan tawaran apa pun tanpa menjadi bingung dan salah tingkah. Mereka berani menjadikan keragaman pengaruh dan tawaran itu sebagai bahan mentah untuk mosaik diri yang indah. Mereka tidak gamang dalam menghadapi situasi yang serba berubah. Justru mereka dapat dengan tepat mengantisipasi suatu perubahan. Inilah orang-orang yang tidak bertipe tambal sulam, tidak hanya memperbaiki yang luaran, tetapi mampu mencari akar permasalahan dan mampu memecahkannya secara dewasa. Mereka mampu karena mempunyai wawasan yang luas dan kepribadian teguh yang integral. Mereka menjadikan keragaman tersebut sebagai bahan mentah untuk membuat sayur yang enak. Keragaman akan menjadi enak kalau ditempatkan pada posisinya masing-masing secara seimbang, yang baik disebut baik yang jelek dikatakan jelek. Pribadi dan bangsa masing-masinglah yang harus membuat sintesis sesuai dengan akar budaya positif dari warisannya. Belajar dan memperkembangkan nilai-nilai baik dari budayanya sembari memanfaatkan “jenis-jenis sayuran dan bumbu masak” dari orang lain atau bangsa lain sehingga jadilah orang atau bangsa yang “sedap”.
Mungkin cita-cita kita menjadi bangsa yang benar-benar berbudaya, damai dan dengan gairah yang tinggi bekerja keras membangun agar setiap anak bangsa bisa mengembangkan dirinya, berkreasi secara bebas untuk kepentingan bangsa dan negara, baik dalam menyelesaikan masalah masa kini atau meletakkan landasan untuk membangun masa depan yang jaya dan membanggakan. Masa depan yang sejahtera sehingga seluruh anak bangsa akan mengenang nenek moyangnya dengan kebanggaan karena warisan yang ditinggalkannya tetap dikenang indah sepanjang jaman.
Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi adalah juga jalan untuk upaya merawat ingatan; bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represifitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura diskusi dan turut berpikir.
Generasi Muda (orang Muda) atau apa namanya adalah kunci. Generasi ini merupakan generasi yang akan mewujudkan paradigma baru dengan tetap terlebih dahulu perlu membangunkan kembali akar-akar budaya bangsa. Ini dapat dicapai melalui peningkatan komitmen kebangsaan di dalam sanubari masing-masing agar nasionalisme Indonesia baru akan berpijar dalam bentuk gagasan dan pandangan bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia, dan yang perlu ditekankan apa yang kita cari bukanlah sinkretisme, campuran sana sini. Kita menjadi pribadi atau bangsa berpribadi yang “concrescence” bersama budaya dan orang lain. Pantas dicatat bahwa pluralitas adalah kenyataan yang tak tersangkalkan; bahwa pluralitas tidak sama dengan pluralisme; bahwa pluralitas tidak otomatis mengakibatkan disintegrasi bangsa asal pemikiran “bonum commune” dijadikan landasan bermasyarakat dan bernegara. ***
0 komentar:
Posting Komentar