Mencari (pemimpin) Indonesia Masa Depan

Oleh: Prakoso Bhairawa Putera S

Penulis adalah Staf Unit Penelitian FISIP UNSRI

Tulisan ini telah dipublikasi di Sriwijaya Post, edisi Senin 12 November 2007


SEBUAH Negara dibangun pastilah memiliki tujuan yang sangat mulia, begitu juga dengan para founding father bangsa ini. Satu kalimat kunci yang sejak lama kita dengar, ’menjadi bangsa yang sejahtera’. Lalu kalimat ini menimbulkan pertanyaan lagi; Sudahkah kita menjadi bangsa yang sejahtera? kiranya pertanyaan ini sedikit menggelitik ditengah perjalanan bangsa yang jatuh bangun dan tak pernah lepas dari permasalahan.

Bagi orang yang optimis jawabannya ”Kita sedang menuju ke tujuan itu, bung!” lalu mereka akan membandingkan dengan umur negeri ini yang baru merayakan ultah ke 63 dengan umur negara Amerika Serikat, sebagai simbol kesejahteraan yang sudah mencapai kisaran abad dan mengatakan bahwa wajar karena Indonesia masih muda. Ada juga yang mengatakan bahwa persediaan alam negeri ini masih sangat banyak dan potensinya pun akan membuat negara lain pun iri.

Lalu salah seorang rekan saya yang begitu senang bernostalgia mengatakan, Indonesia tak kan pernah seindah dahulu. Argumennya cukup mencengangkan, masa dinasti Majapahit dan Sriwijaya lebih baik dari wajah Indonesia saat ini. Dengan lantangpun ia mengatakan masa orde baru dengan masa reformasi lebih ”enak” masa orde baru. Tapi saya kembali bingung jika masa itu ”enak” kenapa PBB dan Bank Dunia nemempatkan mantan penguasa masa itu diurutan pertama sebagai pemimpin yang diduga mencuri kekayaan negara selama memerintah.

Dalam suasana nostalgia, tiba-tiba salah satu rekan saya yang cukup skeptis datang –dengan sederhana ia berkata ”Kita tidak akan bisa menjadi bangsa yang sejahtera”. Mengapa tidak bisa; karena selama ini tidak ada perubahan berarti dalam negeri ini. Mentalitasnya masih terlalu jauh dari kemajuan; masih mengagungkan penguasa dan prang terpandang, lebih percaya mistis daripada ilmuwan, mentalitas korup dan senang memancing di air keruh. Parahnya lagi senang membiarkan sumber daya alam sebagai bahan referensi di buku-buku ajar sekolah dan tak pernah menjelma menjadi alat kesejahteraan rakyat.

Saya terdiam sesaat, lalu dimanakah posisi saya? Namun ditengah kegelisahan salah seorang rekan datang. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. (Ar-Ra’du:11). Mungkin inilah yang belum dan masih enggan kita lakukan. Perubahan adalah kunci dan solusi atas setiap permasalahan yang ada. Namun yang perlu kita sepakati adalah perubahan tersebut pada dasarnya adalah perubahan untuk membenahi masalah bukan menambah masalah yang sudah akut.

Bagi sebuah bangsa yang sarat kemajuan ialah bangsa yang membutuhkan visi. Visi inilah yang kemudian menjadi spirit yang mendorong perubahan. Visi menghasilkan etos. Laku hidup yang dinamis dan progresif menjadi hasilnya. Inilah buah pikiran yang selalu lahir dari cerlang pikiran almarhum Nurcholish Madjid: paling tidak membangun kembali Indonesia butuh satu generasi.

Jika berbicara satu generasi maka bisa dipastikan akan membutuhkan waktu yang tak singkat. 20 tahun ialah waktu yang jika dimanfaatkan sebaik mungkin niscaya menelurkan kualitas prima. Malaysia adalah bukti nyata, hanya membutuhkan satu generasi untuk mengejar ketertinggalan, lalu meninggalkan Indonesia yang dulu pernah menjadi "kakak" pendidikan

Sepertinya saya akan sepakat dengan Zacky Khairul Umam (Suara Karya, 10 Agustus 2006) yang mengatakan revitalisasi keindonesiaan wajib, dengan butuh kerja keras selama satu generasi ke depan. Bukan hanya transisi demokrasi yang sarat dengan perubahan institusional dan kultural kebangsaan, namun juga perubahan secara "radikal" mengenai negara-bangsa secara holistik. Untuk itu mentransformasi Indonesia berawal dari teladan kepemimpinan yang prima. Kepemimpinan yang prima tak akan tercapai kecuali dengan menyediakan ruang hidup bagi jejaring kepemimpinan pemuda.

Para pendiri bangsa, jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa kepemimpinan pemuda merupakan kunci utama. Dalam membangun peradaban bangsa ke depan, kepemimpinan pemuda merupakan aspek krusial. Dalam kaitan itulah kita memerlukan entitas pemuda yang bisa memperkokoh integritas bangsa. Memperkokoh integritas nasional merupakan tantangan utama generasi muda sekarang ini. Karena itu, berbagai elemen pemuda -- dalam pelbagai dedikasi dan institusi -- harus dipersatukan dalam common platform untuk membangun Indonesia ke depan. Pemuda boleh berada di mana saja: di berbagai parpol, LSM, dan institusi lain. Tapi jangan lupa: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah rumah kita bersama. Membangun Indonesia ke depan mesti dimulai dengan transformasi kepemimpinan. Mekanismenya adalah dengan mempersiapkan kepemimpinan pemuda yang pola rekrutmennya dilakukan oleh, misalnya, partai-partai politik, tetapi character and nation building jangan pernah lepas. Ini penting dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam perjalanan bangsa -- dengan pembangunan nasional menuju masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.

Di satu sisi, orang muda harus jujur dan tidak tutup mata bahwa potensi disintegrasi dan ancaman terhadap konsep harmoni sosial masih berkembang pada sebagian masyarakat. Dalam konteks ini multikulturalitas bangsa dapat bermakna ganda, ibarat dua sisi mata pedang. Di satu sisi merupakan modal sosial yang bisa menghasilkan energi positif, memperkaya kazanah kultural bangsa. Namun pada saat bersamaan, bisa juga menjadi energi negatif berupa ledakan destruktif yang setiap saat siap menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan.

Namun yang harus dipecahkan dan dicari solusinya adalah kenyataan bahwa ledakan dan potensi perpecahan tersebut cenderung baru muncul manakala keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dan dimenej dengan kebijakan politik yang demokratis dan egaliter. Jika ditangani dengan baik, maka keanekaragaman dan pluralisme justru merupakan aset dan kekayaan. Di sinilah kepemimpinan pemuda hendaknya ditempatkan, sehingga mampu mengelola dan memandu berbagai keragaman bukan sebagai laknat, melainkan menjadi elemen sosial dan basis yang tangguh. Bagaimanapun, bagi bangsa, kepemimpinan pemuda adalah investasi jangka panjang. Sehingga eksperimentasinya juga mesti mencerminkan semangat moderatisme dan inklusifisme.***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: