Oleh : P. Bhairawa Putera
Staf Pengajar (Tidak Tetap) FISIP – Univ. Sriwijaya, dan Bekerja di Puslit Perkembangan IPTEK – LIPI, Jakarta
Tulisan ini telah dimuat di Padang Ekspres, edisi Senin 07 April 2008
“HATTA”, pasti semua orang di negeri ini begitu populer dengan nama tersebut, dan yang paling mudah untuk dipastikan adalah nama “Hatta” sebagai salah satu tokoh proklamator. Terlebih bagi masyarakat Minang, tokoh yang satu ini memiliki kebanggan yang luar biasa. Bung Hatta adalah pejuang besar bagi bangsa Indonesia kelahiran Bukittinggi, founding fathers, dan peletak dasar ekonomi kerakyataan yang kemudian lahirlah Koperasi di Indonesia.
Namun, seiring perjalan bangsa, hiruk pikuk percaturan politik dan polemik multi krisis yang dialami bangsa ini, masih adakah pemikiran-pemikiran beliau yang relevan untuk republik yang “akut” dalam konteks gagasan dan nilai-nilai kebangsaan. Mungkinkah penyakit bangsa ini bertambah dengan penyakit “lupa” atau penyakit itu benar-benar “akut”.
Jauh sebelum tahun 2008 hadir dan munculnya nama SBY-JK sebagai panglima bangsa, Hatta telah memberikan apresiasi maksimal, dan mungkin tidak banyak yang mampu untuk mewarisi semangat dan pemikiran beliau. Bung Hatta adalah tokoh yang berani menolak saat gajinya sebagai Wapres akan dinaikkan. “Keuangan negara tidak cukup kuat, sementara banyak rakyat melarat yang memerlukan uang itu.” Begitulah yang ia katakan ketika situasi perekonomian sedang tidak menentu di masa kekuasaanya. Sebuah kenyataan yang sulit untuk bisa kita lihat pada bapak dan ibu kita masa ini.
Jika membuka catatan sejarah, sebelum tahun 1932 Bung Hatta melahirkan istilah “Kedaulatan Rakyat” yang pada saat itu dikenal dengan Volkssouvereiniteit. Istilah tersebut dimuat secara tegas oleh majalah Daulat Rakyat. Konsep ini berbeda dengan paham serupa di dunia Barat yang hanyalah memberikan ruang pengertian demokrasi politik semata. Kedaulatan Rakyat versi Bung Hatta melihat demokrasi politik sekaligus demokrasi ekonomi di dalamnya. Dimana Kedaulatan Rakyat di Indonesia bersumber dari sifat-sifat dan sikap hidup bangsa Indonesia sendiri.
Menjelang Indonesia merdeka, konsep Kedaulatan Rakyat kembali dipertegas oleh Bung Hatta. “Kalau Indonesia sampai merdeka, mestilah ia menjadi Kerajaan Rakyat, berdasarkan kemauan rakyat.” Asas Kerakyatan ini mengandung arti, bahwa kedaulatan ada pada rakyat. Segala hukum (recht, peraturan-peraturan negeri) wajib berpegang pada keadilan dan kebenaran yang hidup dalam hati rakyat yang banyak, dan aturan penghidupan haruslah sempurna dan berbahagia bagi rakyat kalau ia beralasan kedaulatan rakyat. Asas kedaulatan rakyat inilah yang menjadi sendi pengakuan segala jenis manusia yang beradab, bahwa tiap-tiap bangsa mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri. Pendeknya cara mengatur pemerintahan Negara, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpulan orang pandai atau segolongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kedaulatan rakyat. Inilah dasar demokrasi atau kerakyatan yang seluas-luasnya. Tidak saja dalam hal politik, melainkan juga dalam hal ekonomi dan sosial ada demokrasi; keputusan dengan mufakat rakyat yang banyak.
Begitu indahnya jika satu konsep pemikiran ini bisa tertular dalam benak pengambil kebijakan di negeri ini. Mungkin perubahan zaman, terlebih di masa multikrisis seperti ini, sense of crisis para pemimpin masih sangat rendah. Masih sulit untuk dimengerti ketika masih ada pejabat tinggi negara yang mau-maunya menggunakan uang negara demi kepentingan pribadi semata. Perbedaan perlakuan pemerintah terhadap para pemodal besar dan investor asing dengan para pengusaha kecil dan lokal, pengusiran dan penggusuran pedagang kaki lima tanpa adanya solusi yang pasti semakin memperjelas hilangnya rasa toleransi dan rusaknya tatanan demokrasi ekonomi yang dicita-citakan Bung Hatta.
Padahal jauh-jauh hari Bung Hatta telah mencontohkan bagaimana tumbuhnya rasa hormat pada sesama manusia, baik kawan atau pun lawan. Walaupun Bung Hatta tidak setuju dengan pendapat seseorang, bukan berarti beliau harus membenci orang tersebut. Bung Hatta yang lembut hati, selalu mencari strategi untuk berjuang tanpa kekerasan. Senjatanya adalah otak dan pena. Beliau lebih memilih untuk menyusun strategi, melakukan negosiasi dan menulis berbagai artikel bahkan kritikan pedas untuk memperjuangkan nasib bangsa daripada melawan menggunakan kekerasan.
Sadar atau tidak, saat ini semakin tipisnya rasa kesatuan dan batas toleransi tiap warga negara disertai dengan semakin jauhnya kesenjangan yang ada sebagai akibat meluasnya konflik perseorangan menjadi konflik yang terkait dengan suku, agama, ras dan golongan tertentu. Berpacunya kehendak untuk memiliki kebebasan tanpa batas dan keinginan mematikan arti suatu kritik pada orang lain mengakibatkan perbedaan pendapat lebih dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima. Mulai hancurnya cita-cita pluralisme yang diikrarkan para pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 mengakibatkan kehidupan di Indonesia menjadi terkotak-kotak. Putusnya harapan terhadap demokrasi karena penyelewengan terhadap fungsi demokrasi mengakibatkan kegagalan terciptanya pemerintahan yang kuat dan efektif. Hancurnya perekonomian sebagai akibat carut-marutnya birokrasi, kekerasan dan intimidasi berkepanjangan disertai dengan kurangnya dukungan terhadap penjual kecil dan keberpihakan pada pemilik modal besar menyebabkan sulit berkembangnya usaha kecil dan bertambah kompleksnya masalah di Indonesia.
Kemampuan untuk meletakkan dasar-dasar pemikiran layaknya Hatta mulai jarang ditemukan, bahkan konsep ekonomi rakyat yang diusung oleh Bung Hatta yang kemudian secara formalnya termaktub dalam UUD 1945 dalam pasal 33 mulai bergoyang. Ekonomi rakyat yang digagas oleh Bung Hatta berdasarkan kondisi pada saat itu terjadi baik di Asia maupun di Eropa, yaitu sebagai akibat adanya pertentangan kelas yaitu antara kelas borjuis dan kelas proletar. Menurut Bung Hatta ekonomi Rakyat Indonesia adalah suatu jalan tengah sebagaimana yang merupakan Filosofi dari pasal 33 UUD 1945, yang menurut berbagai kalangan sudah mencakup 2 (dua) aliran utama ekonomi yaitu kapitalisme dan sosialisme. Bung Hatta berpendapat, kemandirian ekonomi suatu bangsa hanya akan dapat tercapai apabila seluruh mesin kegiatan ekonomi digerakkan oleh kekuatan rakyat, yang kesemua itu masih sangat relevan dan terulang kembali di masa sekarang. Dimana kapitalis dan sosialis muncul dengan baju baru tetapi tetap dengan paradigma yang sama.
Seperti yang pernah ditulis oleh penyair besar Indonesia, Chairil Anwar (1948) dalam puisinya Krawang Bekasi, “Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir/…” Baik kiranya menjaga pemikiran-pemikiran Bung Hatta yang ternyata, tidak bisa dipungkiri masih relevan dengan masa saat ini. Dan alangkah lebih baiknya semangat dan pemikiran tersebut kita gelorakan kembali (dimulai) di tanah minang tempat pemikir tersebut lahir.***
0 komentar:
Posting Komentar