Anti Plastic Bag Campaign

500 juta hingga 1 milyar kantong plastik ikonsumsi per tahun.
1 juta kantong plastik per menit."

500 tahun agar terdekomposisi secara sempurna."
dan
Ratusan hewan laut mati setiap tahun
akibat memakan sampah plastic karena
salah memperkirakannya sebagai makanan

OPEN YOUR EYES
OUR PLANET NEEDS OUR HELP !!!!!!

Do you care enough?
SAVE OUR PLANET, EVEN WHEN WE'RE SHOPPING

HOW?

Find out the answer in our events:
"ANTI PLASTIC BAG CAMPAIGN"


ITB CAMPAIGN
5, 6 Februari 2008
jam 15.00 - 18.00 WIB
@ Kampus ITB

Media Kampanye :
DINDING FAKTA | DINDING PETISI | GUNDUKAN SAMPAH HARAPAN | PAMERAN 1000 PUISI ANAK INDONESIA

Menampilkan juga :
d' Cinnamons | Yukie "Pas Band" | Jendela Ide Kids Percussion | The Bambooz
ADA JUGA GAMES dan HADIAH!!!!!
............ ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ......... ........
COMMUNITY CAMPAIGN
Sabtu, 9 Februari 2008
09.00 – muak liat PLASTIK
@ Jalan Ganeca, Bandung

|| PLASTICPHOBIA ROAD ||
Rasakan Sensasi Wahana Anti Plastik Kami. Naik Mobil atau Jalan Kaki.Sampai Bosan Lihat Plastik!!!!

Mau tahu juga isu- isu tentang lingkungan?

Pameran oleh :
GSM WALHI JABAR | WWF| Yayasan PELANGI | GREENPEACE | DANA MITRA LINGKUNGAN | GREENERATION INDONESIA | U-GREEN | USAID | CARBON TAX by GREENERS ft. FIREBOLT

LAUNCHING OUR. NEW.LIMITED. ANTI.PLASTIC. DESIGN.BAG
Buruan Beli!! TERBATAS!!!

Contact Persons:
RANI (0813 2107 6543 / 022-70377957)
YOSIE (0856 223 4552)

Presented By:
Himpunan Mahasiswa Teknik Lingkungan ITB

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

South to South Film Festival 2008

Apa South to South Film Festival (StoS)

“Perubahan iklim adalah masalah lingkungan, hanya pencinta lingkungan yang berkumpul di Bali akhir tahun ini, untuk mengurusnya”, kata seorang perempuan terpelajar bergelar Doctor, pimpinan sebuah lembaga ternama.


Benarkah masalah perubahan iklim hanya masalah lingkungan? Permukaan air laut naik dan menggenangi kota-kota kelak, adalah masalah lingkungan? Petani kekeringan air atau kebanjiran, akibat musim yang berubah-ubah dan intensitas hujan tinggi, atau suhu yang bertambah panas, adalah urusan pecinta lingkungan?

Jum'at 25 Januari 2008 Sabtu 26 Januari 2008 Minggu 27 Januari 2008

NONTON BARENG
Seri Film Pendek
“Forest Series”

Chained to Charcoal (20’)
Forest Fortune (18’)
Wildlife’s Worry (21’)


13.00 – 14.10 Wib
NONTON BARENG
“Laut yang Tenggelam”









13.30 – 15.00 Wib
NONTON BARENG
Seri Film Pendek
“Water Series”

Fish or Fees (18’)
Niger, A Life Line (18’)
Teluk Jakarta Under Pressure (15’)


14.15 – 15.20 Wib



15.30 – 16.10 Wib
NONTON BARENG
Seri Perubahan Iklim

The Pampas Unknown Desert (25’)
Jonathan Brown
& The Lost Penguin (13’)
The Fridge (7’)
The Last Boy Riding (17’)
Sui Utik (17’)


15.30 – 16.50 Wib
BINCANG-BINCANG
Tema : Vote for Life


Bersama :
Mira Lesmana (Filmmaker)
Siti Maimunah (aktivis lingkungan)
Nirina Zubir (artis)

Dipandu oleh : Lisa Boy (Penyiar Female Radio)

16.10 – 17.40 Wib
BINCANG-BINTANG
Tema : We Are Connected


Bersama :
Javari Firdaus (Filmmaker)
Nurhidayati (Greenpeace)
Miss Indonesia Earth 2007
M. Abduh Azis (pengamat film)
Dipandu oleh : Lisa Boy (Penyiar Female Radio)

16.50 – 18.20 Wib
Pengumuman Pemenang
Lomba Poster & Puisi

19.00 – 19.30 Wib

MUSIK ASYIK
TIKA

Nonton Bareng
South to South

Pembukaan & Talkshow
Mengapa South to South ?

19.00 – 20.00
MUSIK ASYIK
Seven Soul


17.40 – 18.20 Wib
NONTON BARENG
“Too Hot Not To Handle”




19.30 – 21.00 Wib
NONTON BARENG
“Sipakapa Is Not For Sale “


20.00 – 21.00

NONTON BARENG
“Mahua Memoirs”

19.30 – 21.00 Wib

Penutupan

Musik Asyik
Cozy Street Corner

21.00 – 21.30 Wib

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Otomatis Romantis


GENRE : Keluarga Komedi Roman/Percintaan

PEMAIN : Tora Sudiro, Marsha Timothy, Tukul Arwana,

Wulan Guritno, Dwi Sasono, Poppy Sovia,

Chintami Atmanegara, Tarsan, Mpok Atik

SUTRADARA : Guntur Soeharjanto

PENULIS NASKAH : Monty Tiwa

PRODUSER : Monica Hariyanto, Monty Tiwa

PRODUKSI : ISI Production

KLAS PENONTON : Segala Umur

TANGGAL RILIS : 18 Januari 2008

Selengkapnya,...

segala info dan gambar diperoleh atau bersumber dari: www.21cineplex.com, dan www.ruangfilm.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Ayat-ayat Cinta

Jenis Film : DRAMA
Pemain : FEDI NURIL, RIANTO CARTWRIGHT,
CARISSA PUTRI, ZASKIA ADYA MECCA,
MELANIE PUTRIA, HJ. MIEKE WIJAYA
Sutradara : HANUNG BRAMANTYO
Penulis : SALMAN ARISTO/GINATRI NOER/
HABIBURRACHMAN EL SHIRA
Produser : DHAMOO PUNJABI, MANOJ PUNJABI

Produksi : MD PICTURES


selengkapnya,..

segala info dan gambar diperoleh atau bersumber dari: www.21cineplex.com, dan www.ruangfilm.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Lomba Karya Tulis Farmasi 2008

Lomba Karya Tulis FARMASI 2008


BATAS AKHIR PENGIRIMAN 31 JANUARI 2008 (SUDAH DITERIMA PANITIA)

Dalam Rangka Memperingati Hari Farmasi Nasional Tanggal 13 Februari 2008, maka akan diadakan LOMBA KARYA TULIS ILMIAH dengan judul "Sumbangsih Apoteker Terhadap Pembangunan Kesehatan Di Kotamadya Medan".

selengkapnya,...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Amelya


Amelya

Mini Teenlit Oleh R. Panji Bhairawa

AKU tak akan berhenti berharap walau itu hanya setitik cahaya saja” kucoba kirimkan pesan singkat itu kembali. Cukup lama menanti balasan pesan hingga aku harus mengulangnya sampai dua kali. Aku masih termenung hingga tanpa sadar taksi yang membawaku mulai memasuki kawasan bandara internasional Soekarno-Hatta.

”Bang, sudah sampai!” suara sopir taksi menyadarkan lamunan.

Kuperhatikan sekeliling, ruang tunggu terminal tampak sesak dengan para calon-calon penumpang yang barangkali akan segera kembali ataupun berpergian ke suatu tempat yang mereka impikan. Sejenak aku mematung, sekali lagi kusapukan pandangan diantara pengantar, para sopir taksi, dan petugas bandara. ”Barangkali ia sudah disini!” batinku berucap.

Selengkapnya baca disini,...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Hanya Malam Jumat Kliwon


Hanya Malam Jumat Kliwon

by: R. Panji Bhairawa


BULAN tepat menjatuhkan cahayanya pada bidang-bidang di permukaan bumi. Awan malam yang berintegral dengan kerlip bintang semakin mempercantik pemandangan tiap mata yang melihat. Bila sudah seperti ini, pastilah Junet nangkring di beranda atas. Tak banyak yang ia lakukan, selain memandang langit dan menantikan bintang jatuh. Paling-paling jika bete mulai menyerang, ia segera memutar mp3 dari ponselnya sembari mengunyah permen karet yang mungkin udah berhari-hari mangkal di rongga mulutnya. Namun, sejak peristiwa malam minggu yang lalu, Junet tidak lagi berani berlama-lama memanjakan diri di loteng atas. Ia begitu menderita setiap kali mengingat kejadian itu.


Selengkapnya baca disini,....

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Terima Kasih Ibu


Terima Kasih Ibu

Oleh Prakoso Bhairawa Putera S

Tulisan ini telah dipublikasi di Suara Pembaruan, edisi Minggu 30 Desember 2007


TANGGAL
22 Desember yang diperingati sebagai Hari Ibu, sudah lewat, tetapi tentu saja tidak berarti hal yang berkaitan dengan ibu sudah dilewatkan begitu saja. Bahkan seperti kasih ibu yang berlangsung sepanjang masa, demikian pula hendaknya kita memberi perhatian pada ibu sepanjang waktu.

Berbicara mengenai Ibu, kita akan dihadapkan pada sosok perempuan atau wanita. Sejarah telah mencatat begitu banyak kaum perempuan mengambil andil dalam setiap jejak langkah perjalanan bangsa Indonesia, mulai dari perlawanan menghadapi penjajah Belanda yang dilakukan oleh Cut Nyak Dien dan kawan-kawan sampai dengan perlawanan diplomatik oleh RA Kartini, yang berhasil mengangkat derajat kaum perempuan pada tempat yang sejajar dengan kaum laki-laki, walaupun sampai hari ini masih saja terdapat beberapa kesenjangan dan kekerasan terhadap perempuan.

Dari catatan tahunan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan terdapat 14.020 kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2004. Jumlah tersebut meningkat cukup tajam dibandingkan tahun sebelumnya (2003) 7.787 kasus. Jumlah ini adalah kasus yang teridentifikasi. Dari 14.020 kasus tersebut, 4.310 di antaranya merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga, 562 kasus trafficking, dan 302 kasus yang dilakukan aparat negara.

Padahal, jika dilihat sesungguhnya negara Indonesia telah memiliki UU No 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sayangnya, pemerintah tampaknya masih "setengah hati" dalam mewujudkan pelaksanaannya.

Meski sudah ada UU No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, masih saja kekerasan terhadap perempuan terjadi. Kekerasan terhadap perempuan termasuk permasalahan yang cukup rumit. Kita akan berhadapan dengan masalah relasi, baik relasi personal (antarindividu), perempuan dengan laki-laki, perempuan dengan perempuan, maupun relasi sosial, perempuan dengan lingkungan masyarakat atau bahkan dengan negara. Jika memulai membangun relasi dengan konfrontasi, maka pasti reaksi yang muncul kemudian adalah resistensi (penolakan). Fakta di lapangan menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Ketimpangan relasi ini bisa terjadi dalam rumah, misalnya, antara suami dan istri.

Dengan relasi personal yang tidak seimbang ini, sering terjadi peristiwa kekerasan dalam rumah tangga, seperti pemukulan istri oleh suami, bentakan kasar, caci-maki, penelantaran rumah tangga, ancaman kekerasan, dan pemaksaan yang mengakibatkan kesengsaraan pada diri perempuan.

Pemberdayaan

Di tengah peliknya permasalahan tentang kekerasan terhadap perempuan di negeri ini sudah saatnya kita mengidentifikasikan masalah mendasar, yang menjadi pokok dari setiap hal yang merugikan kaum Ibu. Dalam pembangunan pemberdayaan perempuan, masalah mendasar selama ini adalah rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan, di samping masih adanya berbagai bentuk praktik diskriminasi perempuan.

Dalam konteks hukum, kesenjangan ini mencerminkan masih terbatasnya akses sebagian besar perempuan terhadap layanan kesehatan yang baik, pendidikan yang lebih tinggi, dan keterlibatan dalam kegiatan publik yang lebih luas. Hal lain yang jadi masalah, rendahnya kualitas dan peran perempuan, tingginya tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak, rendahnya kesejahteraan dan perlindungan anak, rendahnya angka Indeks Pembangunan Gender (Gender Related Development Index-GDI) sebesar 59,2 dibandingkan dengan angka HDI 65,8 dan Indeks Pemberdayaan Gender (Gender Empowerment Measurement-GEM) 54,6 menempati ranking 33 dari 71 negara yang diukur. Masih banyak hukum dan peraturan perundangan yang bias gender.

Selain itu budaya patriarki yang masih banyak dianut di masyarakat Indonesia sering kali "memposisikan" perempuan pada status subordinat. Seperti, terlihat jika terdapat keterbatasan sumber daya dalam keluarga, maka adik laki- laki yang tetap meneruskan sekolah sedang kakak perempuannya diminta untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah dengan argumen bahwa mereka toh nantinya jika menikah juga akan bekerja di dapur.

Perubahan sosial-budaya masyarakat memerlukan waktu yang sangat lama bahkan mungkin dalam ukuran generasi, sehingga upaya yang berkaitan dengan perubahan sosial- budaya diupayakan melalui pembinaan yang terus-menerus.

Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender seperti itu ditanggulangi melalui implementasi Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Penghapusan Gender dalam Pembangunan. Inpres ini menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan ke dalam program, sektor, dan daerah masing-masing.

Dalam hubungan itu, kebijakan pemberdayaan perempuan diarahkan untuk meningkatkan keterlibatan perempuan dalam proses politik dan jabatan publik, meningkatkan taraf pendidikan dan layanan kesehatan serta bidang pembangunan lainnya untuk mempertinggi kualitas hidup dan sumber daya kaum perempuan, meningkatkan kampanye antikekerasan terhadap perempuan dan anak, menyempurnakan perangkat hukum pidana yang lebih lengkap untuk melindungi setiap individu dari berbagai tindak kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi termasuk kekerasan dalam rumah tangga.

Kemudian, meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan anak, memperkuat kelembagaan, koordinasi, dan jaringan pengarus-utamaan gender dan anak dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi dari berbagai kebijakan, program dan kegiatan pembangunan di segala bidang, termasuk pemenuhan komitmen-komitmen internasional, penyediaan data dan statistik gender serta peningkatan partisipasi masyarakat.

Karakteristik perempuan sebagai ibu bukan saja terletak pada kodrat perempuan hanya untuk mengandung dan melahirkan. Melainkan pada kemampuan seorang ibu dalam mengasuh anak-anaknya sejak lahir hingga dewasa. Selain itu, tuntutan dunia modern telah meletakkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki.

Dengan demikian sudah sangatlah jelas bahwa perempuan juga memiliki peran yang tidak kalah dengan laki-laki. Oleh sebab itu, marilah terus berkarya kaum perempuan, tetapi dengan tetap sadar dan mengerti akan kedudukannya dalam keluarga, masyarakat dan negara.

Saat ini yang perlu disadari bahwa telah begitu banyak pengorbanan dan sumbangsih kaum perempuan, baik yang secara biologis telah "berhak" menyandang predikat ibu maupun yang masih menunggu, tetapi tetap berhak mendapatkannya. Maka dalam memperingati hari pemuliaan kaum ibu ini, adalah saat yang paling baik untuk berterima kasih atas jasa-jasa ibu dalam melaksanakan tugas kodratnya, yakni hamil, melahirkan, menyusui, serta tugas-tugas dalam mewujudkan kemajuan keluarga, masyarakat, dan bangsa ini. Perwujudan dari rasa terima kasih itu bisa berupa pemberian kesempatan untuk berkarya cipta seperti kaum pria.

Penulis adalah pemerhati masalah sosial budaya, Staf Peneliti FISIP Universitas Sriwijaya, Palembang

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Bahasa dalam Ruang Generasi Muda


Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S

Duta Bahasa tingkat Nasional 2006

Tulisan ini telah dipublikasi di Radar Banten, edisi Kamis 27 Desember 2007

BAHASA, kata kunci yang kini ikut dipertanyakan keberadaannya. Andaikata tokoh-tokoh pencetus tiga ikrar dalam Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) kini hidup kembali mungkin mereka menangis, sedih sekali, karena perilaku berbahasa Indonesia sebagian (?) orang di negeri ini. Betapa tak sangat sedih, mereka menyaksikan orang-orang Indonesia sekarang, dari kalangan tertinggi hingga terendah, yang tidak menjunjung tinggi bahasa nasional kita sendiri.


"Kami Poetra dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean,

bahasa Indonesia."


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menjunjung berarti menuruti, menaati. Sedangkan menjunjung tinggi berarti memuliakan, menghargai, dan menaati. Nah, apakah kita masih menjunjung bahasa persatuan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini periksalah diri masing-masing.

Kemampuan berbahasa Indonesia sebagai alat komunikasi menjadi tuntutan utama bagi setiap warga negara Indonesia untuk berhubungan dengan orang-orang dari daerah lain atau dari suku lain.

Kelancaran berbicara dan jarangnya terjadi kontak dan paham pada waktu berhubungan dengan memakai Bahasa Indonesia dengan orang lain, baik di kantor, di pasar, dipertemuan-pertemuan atau di tempat-tempat lain membutuhkan perasaan mau berbahasa Indonesia. Perasaan tersebut pada gilirannya menimbulkan keengganan mempelajari Bahasa Indonesia secara bersungguh-sungguh, karena tanpa belajarpun mereka pada kenyataannya mampu menggunakan bahasa tersebut.

Perkembangan suatu bahasa berjalan seirama dengan perkembangan bahasa pemiliknya. Bahasa Indonesia masih sangat muda usianya, tidak mengherankan apabila dalam sejarah pertumbuhannya, perkembangan bahasa asing yang lebih maju, seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Perancis, bahasa Jerman dan bahasa Arab.
Seperti kita maklumi perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini dikuasai oleh bangsa-bangsa Barat. Merupakan hal yang wajar apabila bahasa mereka pula yang menyertai penyebaran ilmu pengetahuan tersebut ke seluruh dunia.

Indonesia sebagai negara yang baru berkembang tidak mustahil menerima pengaruh tersebut. Kemudian masuklah ke dalam Bahasa Indonesia istilah-istilah atau kata-kata asing, karena memang pengertian dan makna yang dimaksudkan oleh kata-kata asing tersebut belum ada dalam Bahasa Indonesia. Sesuai dengan sifatnya sebagai bahasa represif, sangat membuka kesempatan untuk itu.

Melihat dan menyaksikan keadaan semacam ini, timbullah beberapa anggapan yang kurang baik. Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang miskin, tidak mampu mendukung ilmu pengetahuan modern, tidak seperti bahasa Inggris dan Jerman misalnya.
Pada pihak lain muncul sikap medewa-dewakan dan mengagung-agungkan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.

Dengan demikian timbul anggapan mampu berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya merupakan ukuran terpelajar atau tidaknya seseorang. Alhasil hasrat atau motivasi untuk belajar menguasai bahasa lain atau bahasa asing lebih tinggi dari pada hasrat untuk belajar dan menguasai bahasa sendiri. Kenyataan adanya efek sosial yang lebih baik bagi orang yang mampu berbahasa asing ketimbang yang mampu berbahasa Indonesia, hal ini lebih menurunkan lagi derajat Bahasa Indonesia di mata orang awam.


Berbahasa” di Ruang Generasi Muda

Generasi muda sebagai pilar utama dalam keberlangsungan bangsa ini, ternyata mulai iut dipertanyakan keberadaanya. Tidak hanya ketika ide dan pemikiran tetapi pengantar ataupun bahasa yang dituturkan ikut menjadi bagian terpenting di dalamnya. Sebagai sebuah contoh, lihatlah keberadaaan genre novel yang tengah populer pada masa kini, "teenlit", alias "teen literature". Karya fiksi ini mendapat sambutan yang luar biasa dari penggemarnya (yang semagian besar adalah remaja). Buktinya, karya-karya fiksi berlabel "teenlit" ini sampai dicetak berkali-kali. Sebut saja "Dealova" karya Dyan Nuranindya yang langsung ludes 10 ribu eksemplar hanya dalam tempo sebulan. Malahan, "Dealova" juga telah diangkat ke layar lebar.

Aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa dialek Jakarta turut hadir dalam novel genre ini. "Loe-gue" yang dihadirkan tidak sekadar membuat "teenlit" begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat "teenlit". Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya. Keberadaan bahasa Indonesia di dalamnya tidak terencana, tidak terpola dengan baik, apa saja bisa masuk. Baik pada percakapan (dialog) maupun pada deskripsi, bahasa yang dipakai adalah bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa slang, yang hanya dimengerti oleh anak remaja. Keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali.

Lihatlah nama acara-acara di stasiun-stasiun televisi, siaran nasional, dan daerah. Simaklah laporan kalangan wartawan televisi dan radio (mereka pakai istilah reporter). Perhatikanlah ucapan-ucapan pembawa acara (mereka menyebutnya presenter) di layar kaca. Dengarlah dengan cermat bahasa mereka yang sehari-hari tampil di televisi, dalam acara apa pun.

Dengarlah nama-nama acara di stasiun-stasiun radio siaran. Bacalah nama-nama rubrik di media massa cetak. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nonfiksi yang dijual di toko-toko buku, di pasar buku, atau di kaki lima sekalipun. Simaklah dosen dan guru (terutama yang masih muda) yang sedang mengajar di depan kelas. Dengarkanlah petinggi atau pejabat negara yang sedang berpidato atau berbicara kepada wartawan.

Tiap detik dengan mudah kita mendengarkan bahasa buruk. Contohnya, gue banget, thank you banget, ya!, please, eh, jangan ngomongin aib pacarnya dia, demikian laporan reporter kami, dia presenter, sampai jumpa pada headline news satu jam mendatang, To day's dialouge kita malam ini..., Top nine news, Top of the top, kita harus bekerja sesuai dengan rundown."

Semakin lama semakin banyak orang yang berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tidak mengindahkan norma atau aturan berbahasa yang berlaku resmi. Kalau benar isi pepatah lama, "Bahasa menunjukkan bangsa", maka untuk mengetahui dan mengurai "wajah" negara dan bangsa kita kini tak usah mendatangkan ahli dari Amerika Serikat atau Australia.

Mengobati "penyakit" berbahasa yang sudah parah diperlukan usaha bersama semua pemangku kepentingan bahasa Indonesia untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang Indonesia. Warga negara yang sangat bangga sebagai orang Indonesia tentunya (seharusnya) juga mencintai bahasa nasionalnya sendiri. Kita, putra-putri Indonesia abad 21, yang benar-benar mencintai bahasa Indonesia pastilah menjungjung tinggi bahasa persatuan kita. Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Kebahasaan yang dibuat tahun lalu.

Banyak bangsa lain, seperti Filipina dan India, merasa iri dan sangat terkagum-kagum terhadap bangsa kita karena memiliki bahasa persatuan, bahasa negara, bahasa nasional. Ini merupakan salah satu jati diri asli bangsa kita.

Masyarakat komunikatif tercipta dengan mampu merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap beragumentasi untuk memecahkan permasalahan kompleks yang diidap. Kongkritnya dengan cara itu, dapat mengawal masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang tepat. Bagaimanapun menyiapkan seperangkat infrastruktur yang kapabel menyikapi setiap kejutan-kejutan arah angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan dalam konsensus, dapat menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat membutuhkannya. Mengkedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan kebutuhan lainnya.

Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi adalah juga jalan untuk upaya merawat ingatan; bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represifitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura diskusi dan turut berpikir.

Pada berbagi kegiatan pun diharapkan masyarakat terutama orang muda harus merasa ikut memiliki lambang jati diri bangsa Indonesia. Rasa ikut memiliki itu akan mengukuhkan rasa persatuan terhadap satu tanah air, satu negara kesatuan, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu bendera, satu lambang negara, dan satu lagu kebangsaan. Pada gilirannya rasa persatuan itu akan menjauhkan perpecahan bangsa sekalipun berada dalam era reformasi dan globalisasi.

Akhirnya marilah kita mulai tumbuhkan kembali kesadaran dalam diri masing-masing untuk berbahasa Indonesia dengan baik, benar, dan indah. Ketika berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik! Ketika berbahasa daerah, berbahasa daerahlah dengan baik! Ketika berbahasa nasional, berbahasa nasionallah dengan baik pula!***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Mencari (pemimpin) Indonesia Masa Depan

Oleh: Prakoso Bhairawa Putera S

Penulis adalah Staf Unit Penelitian FISIP UNSRI

Tulisan ini telah dipublikasi di Sriwijaya Post, edisi Senin 12 November 2007


SEBUAH Negara dibangun pastilah memiliki tujuan yang sangat mulia, begitu juga dengan para founding father bangsa ini. Satu kalimat kunci yang sejak lama kita dengar, ’menjadi bangsa yang sejahtera’. Lalu kalimat ini menimbulkan pertanyaan lagi; Sudahkah kita menjadi bangsa yang sejahtera? kiranya pertanyaan ini sedikit menggelitik ditengah perjalanan bangsa yang jatuh bangun dan tak pernah lepas dari permasalahan.

Bagi orang yang optimis jawabannya ”Kita sedang menuju ke tujuan itu, bung!” lalu mereka akan membandingkan dengan umur negeri ini yang baru merayakan ultah ke 63 dengan umur negara Amerika Serikat, sebagai simbol kesejahteraan yang sudah mencapai kisaran abad dan mengatakan bahwa wajar karena Indonesia masih muda. Ada juga yang mengatakan bahwa persediaan alam negeri ini masih sangat banyak dan potensinya pun akan membuat negara lain pun iri.

Lalu salah seorang rekan saya yang begitu senang bernostalgia mengatakan, Indonesia tak kan pernah seindah dahulu. Argumennya cukup mencengangkan, masa dinasti Majapahit dan Sriwijaya lebih baik dari wajah Indonesia saat ini. Dengan lantangpun ia mengatakan masa orde baru dengan masa reformasi lebih ”enak” masa orde baru. Tapi saya kembali bingung jika masa itu ”enak” kenapa PBB dan Bank Dunia nemempatkan mantan penguasa masa itu diurutan pertama sebagai pemimpin yang diduga mencuri kekayaan negara selama memerintah.

Dalam suasana nostalgia, tiba-tiba salah satu rekan saya yang cukup skeptis datang –dengan sederhana ia berkata ”Kita tidak akan bisa menjadi bangsa yang sejahtera”. Mengapa tidak bisa; karena selama ini tidak ada perubahan berarti dalam negeri ini. Mentalitasnya masih terlalu jauh dari kemajuan; masih mengagungkan penguasa dan prang terpandang, lebih percaya mistis daripada ilmuwan, mentalitas korup dan senang memancing di air keruh. Parahnya lagi senang membiarkan sumber daya alam sebagai bahan referensi di buku-buku ajar sekolah dan tak pernah menjelma menjadi alat kesejahteraan rakyat.

Saya terdiam sesaat, lalu dimanakah posisi saya? Namun ditengah kegelisahan salah seorang rekan datang. Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. (Ar-Ra’du:11). Mungkin inilah yang belum dan masih enggan kita lakukan. Perubahan adalah kunci dan solusi atas setiap permasalahan yang ada. Namun yang perlu kita sepakati adalah perubahan tersebut pada dasarnya adalah perubahan untuk membenahi masalah bukan menambah masalah yang sudah akut.

Bagi sebuah bangsa yang sarat kemajuan ialah bangsa yang membutuhkan visi. Visi inilah yang kemudian menjadi spirit yang mendorong perubahan. Visi menghasilkan etos. Laku hidup yang dinamis dan progresif menjadi hasilnya. Inilah buah pikiran yang selalu lahir dari cerlang pikiran almarhum Nurcholish Madjid: paling tidak membangun kembali Indonesia butuh satu generasi.

Jika berbicara satu generasi maka bisa dipastikan akan membutuhkan waktu yang tak singkat. 20 tahun ialah waktu yang jika dimanfaatkan sebaik mungkin niscaya menelurkan kualitas prima. Malaysia adalah bukti nyata, hanya membutuhkan satu generasi untuk mengejar ketertinggalan, lalu meninggalkan Indonesia yang dulu pernah menjadi "kakak" pendidikan

Sepertinya saya akan sepakat dengan Zacky Khairul Umam (Suara Karya, 10 Agustus 2006) yang mengatakan revitalisasi keindonesiaan wajib, dengan butuh kerja keras selama satu generasi ke depan. Bukan hanya transisi demokrasi yang sarat dengan perubahan institusional dan kultural kebangsaan, namun juga perubahan secara "radikal" mengenai negara-bangsa secara holistik. Untuk itu mentransformasi Indonesia berawal dari teladan kepemimpinan yang prima. Kepemimpinan yang prima tak akan tercapai kecuali dengan menyediakan ruang hidup bagi jejaring kepemimpinan pemuda.

Para pendiri bangsa, jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa kepemimpinan pemuda merupakan kunci utama. Dalam membangun peradaban bangsa ke depan, kepemimpinan pemuda merupakan aspek krusial. Dalam kaitan itulah kita memerlukan entitas pemuda yang bisa memperkokoh integritas bangsa. Memperkokoh integritas nasional merupakan tantangan utama generasi muda sekarang ini. Karena itu, berbagai elemen pemuda -- dalam pelbagai dedikasi dan institusi -- harus dipersatukan dalam common platform untuk membangun Indonesia ke depan. Pemuda boleh berada di mana saja: di berbagai parpol, LSM, dan institusi lain. Tapi jangan lupa: Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah rumah kita bersama. Membangun Indonesia ke depan mesti dimulai dengan transformasi kepemimpinan. Mekanismenya adalah dengan mempersiapkan kepemimpinan pemuda yang pola rekrutmennya dilakukan oleh, misalnya, partai-partai politik, tetapi character and nation building jangan pernah lepas. Ini penting dalam menghadapi tantangan zaman. Dalam perjalanan bangsa -- dengan pembangunan nasional menuju masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.

Di satu sisi, orang muda harus jujur dan tidak tutup mata bahwa potensi disintegrasi dan ancaman terhadap konsep harmoni sosial masih berkembang pada sebagian masyarakat. Dalam konteks ini multikulturalitas bangsa dapat bermakna ganda, ibarat dua sisi mata pedang. Di satu sisi merupakan modal sosial yang bisa menghasilkan energi positif, memperkaya kazanah kultural bangsa. Namun pada saat bersamaan, bisa juga menjadi energi negatif berupa ledakan destruktif yang setiap saat siap menghancurkan struktur dan pilar-pilar kebangsaan.

Namun yang harus dipecahkan dan dicari solusinya adalah kenyataan bahwa ledakan dan potensi perpecahan tersebut cenderung baru muncul manakala keanekaragaman itu tidak bisa dikelola dan dimenej dengan kebijakan politik yang demokratis dan egaliter. Jika ditangani dengan baik, maka keanekaragaman dan pluralisme justru merupakan aset dan kekayaan. Di sinilah kepemimpinan pemuda hendaknya ditempatkan, sehingga mampu mengelola dan memandu berbagai keragaman bukan sebagai laknat, melainkan menjadi elemen sosial dan basis yang tangguh. Bagaimanapun, bagi bangsa, kepemimpinan pemuda adalah investasi jangka panjang. Sehingga eksperimentasinya juga mesti mencerminkan semangat moderatisme dan inklusifisme.***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Bangsa Berbudaya : Suatu Ilusi atau Intusi


Bangsa Berbudaya: Suatu Ilusi Atau Intuisi


Oleh: Prakoso Bhairawa Putera S

Pemerhati Masalah Sosial Budaya, Staf Unit Penelitian FISIP Univ. Sriwijaya

Catatan : Tulisan ini telah dipublikasi di Bangka Pos, edisi Kamis 29 November 2007


DEWASA ini kehidupan bangsa yang majemuk mengalami krisis. Reduksi sikap toleransi dan pengertian untuk saling memahami satu sama lain (mutual respect and mutual understanding) telah nyata mengancam pluralisme kebangsaan. Hilangnya kesadaran untuk saling menghargai dalam ruang publik telah menyurutkan langkah konkret mewujudkan persatuan yang sinergis. Bahkan, setiap kelompok (primordialistik) menunjukkan apatisme sosial yang saling berlawanan. Ketiadaan mediasi serta solusi penyelesaian terhadap masalah ini justru akan membawa jurang perpecahan yang semakin lebar, dan akhirnya tidak jelas juntrungannya.

Ironi pluralisme yang terkoyak tersebut jelas menjadi defisit demokrasi serta demokratisasi kehidupan bangsa. Bukan saja sikap memutlak-mutlakan secara logis bertentangan dengan logika demokrasi, namun lebih dari itu demokratisasi gagal justru melalui ketidakmampuan publik mengembangkan inklusivisme sosial yang mengarah ke perwujudan pluralisme yang sejati. Demokrasi merupakan "balairung" dari berbagai pintu kelompok yang amat beragam. Demokrasi bukan dimainkan melalui kekuasaan oligark yang menghasung perbedaan. Setiap kelompok yang berbeda, dalam demokrasi, mestinya bermain secara fair dan rasional dalam kontestasi yang terbuka dan dialogis-partisipatif. Keluwesan disertai strategi perekatan sosial merupakan arena demokrasi yang sejati.

Hidup di negeri yang berslogan gemah ripah loh jinawi ini sepertinya tidak mudah lagi. Menghidupi diri tidak dengan gampang layaknya menanam kayu yang kemudian tumbuh dan dapat diolah menjadi bahan makanan seperti yang sering diajarkan nenek moyang. Mencari lahan untuk tinggal pun kita nampak harus membayar tinggi jika tidak ingin kebagian tempat di bantaran kali atau tersudut di pojok hutan sambil menunggu digugat oleh petugas dan dimintai biaya untuk administrasi tanah. Bahkan kehidupan nyaman pun tak luput dari tragedi alam hingga lantas berhadapan dengan selalu semrawutnya penanganan pemerintah yang bahkan semakin memperlambat proses bantuan yang secara tulus disalurkan.

Namun, di satu sisi bangsa ini adalah bangsa yang sarat akan budaya atau lebih dikenal sebagai bangsa yang berbudaya. Ironisnya, saat ini keragaman tersebut mulai menjadi pokok permasalahan. Keragaman yang mendasari pluralitas hidup bernegara menjadi tak terbendung. Kedaerahan sama halnya budaya dan agama dengan keragamannya menyuburkan pluralitas. Kelompok politik dengan garis primordialnya menekankan unsur pluralitas. Peraturan dan Undang-undang baru memupuk pluralitas. Sadar akan hak-hak individu dan kelompok membuat setiap hal bisa “dimanfaatkan”.Cara pandang dan cara hidup yang modern meninggalkan akar tradisionalnya. Pendek kata situasi bernegara kita sekarang ini diwarnai oleh cara pikir sektarian atau yang mengkotak-kotakkan, tanpa menafikan masih adanya banyak juga warna kebangsaan.


Cara Hidup dan Cara Pikir Kekinian

Dunia modern dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kita untuk semakin dekat “jarak” satu sama lain. Sarana komunikasi yang begitu canggih dan cepat berkembang berkat kemajuan pesat ilmu pengetahuan dan teknologi membuat begitu cepatnya kontak antar bangsa, negara, budaya dan agama, dengan semakin mudahnya kita mengadakan kontak satu sama lain, maka kita juga saling mempengaruhi dalam satu dan lain cara dan semakin beragamlah tawaran-tawaran yang kita hadapi. Pengaruh ini juga bisa berarti sangat positif.

Mengingat adanya pengaruh baik yang negatif maupun positif dari ilmu pengetahuan dan teknologi serta cepatnya menyebar suatu berita dan kejadian, maka apapun yang kita lakukan, pendeknya, mempunyai akibat entah besar atau kecil, terhadap keseluruhan arah perkembangan manusia di bumi ini. Kita adalah pelaku-pelaku yang aktif dalam memblokir perkembangan, dalam membantu perkembangan, dalam menentukan arah perkembangan. Dalam rangka menyongsong masa depan sebagai kaum terdidik sangat bertanggungjawab untuk melihat kecenderungan dan akibat jaman kita, untuk mempertimbangkan reaksi atas berbagai macam bentuk kontak dan keragaman, agar kita dapat menentukan sikap yang bijak.

Mendasarkan diri pada realitas yang benar manusia yang berdimensi religius dan sosial akan dapat dapat membangun dirinya secara utuh dan benar. Arah atau cita-cita yang luhur berdimensi religius dan sosial inilah yang hendaknya menarik dan mengarahkan berkembangan umat manusia. Kenyataan tanpa ditarik oleh suatu cita-cita yang luhur dapat mengalami stagnasi atau akan mengalami penyelewengan dari cita-cita dasar manusia. Sedangkan kenyataan yang didorong sekaligus dipancing oleh cita-cita yang luhur dan wajar akan mengalami perkembangan yang berarti dan bermanfaat. Cita-cita atau apa yang diidealkan itulah yang mendorong dan mempengaruhi arah perkembangan.

Dalam kerangka cita-cita menyongsong kehidupan lebih baik kita mencoba untuk menganalisis kenyataan kultural-sosiologis, dengan demikian terlihat hubungan dialektika antara kenyataan dan cita-cita, sehingga mampu melihat realitas masyarakat kita dengan lebih jeli serta kritis. Menghadapi keragaman pengaruh dan tawaran setiap pribadi atau negara secara sadar atau tidak akan menentukan sikap. Ternyata bagaimanapun juga setiap pribadi secara sadar atau tidak sadar harus mengambil suatu sikap tertentu. Sikap ini karena ia ambil haruslah juga ia secara pribadi mempertanggung-jawabkannya. Maka kelihatan adanya keragaman yang luar biasa dalam sikap-sikap pribadi tersebut. Pertama karena orang begitu mengagumi yang dari luar beserta budaya, termasuk unsur religiusnya, orang dapat tercabut dari akar budayanya. Yang baik adalah yang dari luar. Yang baik adalah unsur-unsur baru. Coba bandingkan kita lebih senang lagu-lagu macam apa dibanding dengan misalnya musik gamelan atau wayang? Karena tercabut dari akar budaya dan tidak mempunyai pegangan yang mantap, orang tidak tahu lagi ke mana melangkah. Sehingga terjadi salah langkah atau salah tingkah. Atau orang bersifat apatis. Toh semua ada unsur baik atau buruknya maka ya sudahlah. Ini suatu sikap yang berbahaya yang bisa menghinggapi generasi yang kurang kritis dan terlalu silau terhadap kemajuan atau pengaruh asing dalam semua seginya.

Kedua orang dapat mereaksi keragaman tersebut dengan menutup diri, terkukung dalam angan-angan, terpenjara oleh pikiran-pikiran palsu, terantai oleh yang serba ortodoks atau tradisional. Orang-orang tersebut akan gamang dalam menyaksikan perkembangan dan mencoba untuk menarik diri. Bahkan orang-orang tersebut bisa sinis terhadap perkembangan. Terlebih lagi orang-orang yang demikian bisa memusuhi orang-orang lain yang menganggap bahwa perkembangan sesuatu yang harus digapai. Boleh jadi orang atau bangsa itu berpandangan bahwa yang terbaik itu saya atau kami. Pokoknya yang terbaik sukuku, yang terpandang agamaku, yang terkenal pulauku, yang hebat universitasku. Kata “ku-ku-ku” ini bisa diperpanjang sampai ke ha-hal yang sangat kecil dan tidak relevan, sehingga pluralitas beranak-pinak. Unsur yang baik itu berlaku untuk segala segi budaya dan agama. Boleh jadi karena orang tidak siap menghadapi kemajuan atau curiga lalu menutup diri terhadap pengaruh dan tawaran. Orang atau bangsa lalu bersikap eksklusif, kalau tidak dari saya atau kami itu tidak baik, titik. Dalam situasi yang demikian misalnya orang akan sangat peka terhadap kritik, bahkan yang positif. Orang dapat membela diri secara tidak wajar. Orang dapat mengatakan bahwa pers asing itu tidak baik, yang baik adalah pers Indonesia yang bertanggung-jawa alias tidak berani mengkritik atau menulis seperti apa adanya. Karena menutup diri maka orang itu menjadi sangat sensitif terhadap pengaruh dan tawaran dari luar, menolak bahkan ofensif.

Ketiga, orang atau bangsa yang berpribadi dewasa, integral dan kuat berani mempelajari/mengenal pengaruh dan tawaran apa pun tanpa menjadi bingung dan salah tingkah. Mereka berani menjadikan keragaman pengaruh dan tawaran itu sebagai bahan mentah untuk mosaik diri yang indah. Mereka tidak gamang dalam menghadapi situasi yang serba berubah. Justru mereka dapat dengan tepat mengantisipasi suatu perubahan. Inilah orang-orang yang tidak bertipe tambal sulam, tidak hanya memperbaiki yang luaran, tetapi mampu mencari akar permasalahan dan mampu memecahkannya secara dewasa. Mereka mampu karena mempunyai wawasan yang luas dan kepribadian teguh yang integral. Mereka menjadikan keragaman tersebut sebagai bahan mentah untuk membuat sayur yang enak. Keragaman akan menjadi enak kalau ditempatkan pada posisinya masing-masing secara seimbang, yang baik disebut baik yang jelek dikatakan jelek. Pribadi dan bangsa masing-masinglah yang harus membuat sintesis sesuai dengan akar budaya positif dari warisannya. Belajar dan memperkembangkan nilai-nilai baik dari budayanya sembari memanfaatkan “jenis-jenis sayuran dan bumbu masak” dari orang lain atau bangsa lain sehingga jadilah orang atau bangsa yang “sedap”.

Mungkin cita-cita kita menjadi bangsa yang benar-benar berbudaya, damai dan dengan gairah yang tinggi bekerja keras membangun agar setiap anak bangsa bisa mengembangkan dirinya, berkreasi secara bebas untuk kepentingan bangsa dan negara, baik dalam menyelesaikan masalah masa kini atau meletakkan landasan untuk membangun masa depan yang jaya dan membanggakan. Masa depan yang sejahtera sehingga seluruh anak bangsa akan mengenang nenek moyangnya dengan kebanggaan karena warisan yang ditinggalkannya tetap dikenang indah sepanjang jaman.

Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi adalah juga jalan untuk upaya merawat ingatan; bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represifitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura diskusi dan turut berpikir.

Generasi Muda (orang Muda) atau apa namanya adalah kunci. Generasi ini merupakan generasi yang akan mewujudkan paradigma baru dengan tetap terlebih dahulu perlu membangunkan kembali akar-akar budaya bangsa. Ini dapat dicapai melalui peningkatan komitmen kebangsaan di dalam sanubari masing-masing agar nasionalisme Indonesia baru akan berpijar dalam bentuk gagasan dan pandangan bagi kemajuan bangsa dan negara Indonesia, dan yang perlu ditekankan apa yang kita cari bukanlah sinkretisme, campuran sana sini. Kita menjadi pribadi atau bangsa berpribadi yang “concrescence” bersama budaya dan orang lain. Pantas dicatat bahwa pluralitas adalah kenyataan yang tak tersangkalkan; bahwa pluralitas tidak sama dengan pluralisme; bahwa pluralitas tidak otomatis mengakibatkan disintegrasi bangsa asal pemikiran “bonum commune” dijadikan landasan bermasyarakat dan bernegara. ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)