Seminar Nasional "Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan"

CALL FOR PAPERS

Untuk dipresentasikan di Seminar Nasional

Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Kami mengundang Anda untuk berpartisipasi dalam Seminar Nasional

Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Yogyakarta, 25-26 Juli 2008

Seminar Nasional ini diselenggarakan oleh Proyek Kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Federal Jerman melalui

Good Local Governance (GLG)

dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (BangDa) Departemen Dalam Negeri dan German Technical Cooperation (GTZ), difasilitasi Urban and Regional Development Institute (URDI)

GLG dan URDI mengundang pengiriman makalah (call for papers) yang akan dipresentasikan dalam Seminar Nasional tersebut yang akan dihadiri oleh berbagai peserta yang terlibat dan atau memiliki perhatian tinggi terhadap tema Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan di Indonesia. Seminar ini merupakan kesempatan bagi anda untuk berbagi konsep, metode, pengalaman dan pengetahuan dalam partisipasi masyarakat dalam pembangunan dengan peserta lainnya dan diharapkan menghasilkan gagasan bagaimana pengetahuan yang dimiliki dapat dipertukarkan.

Abstrak yang diajukan harus memilih salah satu topik subtema seminar berikut ini dan harus dinyatakan di dalam abstrak yang anda kirimkan.

SUB TEMA SEMINAR

· Sub-Tema 1: Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan (kasus-kasus)

· Sub-Tema 2: Pembelajaran dan Analisis Dampak Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan (refleksi terhadap pembelajaran)

· Sub-Tema 3: Pengelolaan Pengetahuan dan Pengembangan Kapasitas untuk Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Abstrak harus dikirimkan sesuai format yang telah ditentukan yang dapat didownload di website www.urdi.org. Batas akhir untuk mengirimkan abstrak adalah 27 Mei 2008 melalui e-mail ke seminar@urdi.org.

Pedoman Abstrak

Ketentuan

Abstrak harus merangkum semua inti bahasan dari makalah anda dalam 200-400 kata (makalah 10-15 lembar) sesuai dengan sub tema yang anda pilih dan mencakup judul, latar belakang, sasaran, ringkasan disertai lima kata kunci di bagian bawah. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia (ukuran A4, satu spasi, margin atas, bawah, kiri dan kanan 2 cm, times new roman font 10). Harap kirimkan abstrak dalam bentuk file lampiran ke seminar@urdi.org dengan subyek abstrak dan subtema yang dipilih. Di bawah judul abstrak harus dituliskan nama penulis, nama lembaga, alamat, email, telepon dan faks. Juga disertai dengan CV ringkas penulis.


Proses Kajian oleh Komite

Abstrak akan dikaji oleh komite yang terdiri dari profesional yang telah lama terlibat dalam kegiatan partisipasi masyarakat. Komite akan menentukan abstrak yang terpilih yang memiliki relevansi dan substansi berdasarkan sub tema topik seminar.

Seleksi dan Penerimaan
Abstrak akan digunakan untuk pemilihan sementara. Pemilihan dan penerimaan final akan dilakukan berdasarkan makalah yang diterima sesuai waktu.

Pemberitahuan Penerimaan
Pengumuman abstrak yang diterima akan diumumkan pada tanggal 3 Juni 2008 dan akan dikirimkan melalui e-mail.

Publikasi & Registrasi

Makalah yang diterima sesuai dengan format yang telah ditentukan tepat waktu dan dipresentasikan di seminar akan diterbitkan ke dalam Prosiding. Hak cipta semua makalah akan menjadi milik penyelenggara. Peserta yang makalahnya diterima dan akan mempresentasikan makalahnya harus mendaftarkan diri sebelum tanggal 7 Juli 2008.

Presentasi Makalah

Pengirim makalah yang diterima akan diberikan waktu 20 menit untuk mempresentasikan makalahnya masing-masing dan akan dilanjutkan dengan diskusi di akhir sesi (panel).

Manfaat Keikutsertaan

Seminar ini merupakan wadah untuk bertukar pikiran dan pengalaman dalam kegiatan yang menjalankan dan menginisiasi proses-proses partisipasi masyarakat dalam kegiatan pembangunan. Setiap peserta yang makalahnya diterima dan dipresentasikan di dalam seminar ini akan diterbitkan ke dalam prosiding yang memiliki ISBN.

Steering Committee

· Prof. Budhy Tjahjati S. Soegijoko, PhD (URDI)

· Dr. Afriadi Hasibuan (Departemen Dalam Negeri, DitJen Bina Bangda)

· Ir. Hetifah Sjaifudian, MPP, PhD (B-Trust)

· Dr. Manfred Poppe (Good Local Governance-GTZ)

Batas akhir (deadline) CALL FOR PAPERS

27 Mei 2008 Batas akhir penerimaan abstrak

03 Juni 2008 Pengumuman abstrak yang diterima

07 Juli 2008 Batas akhir pengiriman makalah yang diterima

07 Juli 2008 Batas akhir pendaftaran peserta dengan makalah

25-26 Juli 2008 Seminar nasional dan presentasi makalah

Sekretariat Seminar Nasional

Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

c/o URDI

Rukan Royal Palace Blok C-3

Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH 178 A, Jakarta 12870

Phone: 021-8312087, 83785532, Fax: 021-8312196

E-mail: seminar@urdi.org

Contact persons:

frieda (f2f@urdi.org)

desy (desy@urdi.org)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

MP3 di Bulan Mei

Mei, adalah salah satu bulan yang memberikan artikan arti bagi diri, nah di bulan ini juga saya akan memberikan beberapa koleksi dari mp3 yang mungkin enak untuk dinikmati dikala sendiri,...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Pemilih Pemula, untuk Siapa?

Oleh: Prakoso Bhairawa Putera. S

Penulis adalah staf Peneliti PAPPIPTEK – Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,

Alumnus FISIP – Univ. Sriwijaya Palembang

Tulisan ini telah dipublikasi di Sriwijaya Post, edisi Kamis 15 Mei 2008

JELANG pemilihan kepala daerah langsung bulan Oktober mendatang. Berbagai strategi tentu telah disiapkan oleh masing-masing kandidat yang akan bertarung di pesta demokrasi untuk menentukan orang nomor satu di provinsi ini. Strategi itupun diarahkan untuk menghimpun suara sebanyak-banyaknya.

Dari 5,1 juta pemilih yang terdata di KPUD Sumatera Selatan hingga Februari 2008, terdapat 500 ribu jumlah pemilih pemula di wilayah ini. Jika dihitung-hitung maka sekitar 9,8 persen suara pemilih pemula yang akan beredar dalam kancah pemilihan. 9,8 persen bukanlah angka yang kecil. Justru ini adalah suara yang cukup potensial untuk digarap.

Dalam undang-undang pemilihan umum, pemilih pemula adalah mereka yang telah berusia 17-21 tahun, yang telah memiliki hak suara dalam pemilihan umum (dan Pilkada). Layaknya sebagai pemilih pemula, mereka selalu dianggap tidak memiliki pengalaman voting pada pemilu sebelumnya. Namun, ketiadaanpengalaman bukan berarti mencerminkan keterbatasan menyalurkan aspirasi politik. Mereka tetap melaksanakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara.

Pemilihan kepala daerah (langsung) merupakan salah satu bentuk partisipasi politik sebagai perwujudan dari kedaulatan rakyat, karena pada saat pemilu itulah, rakyat menjadi pihak yang paling menentukan bagi proses politik di suatu wilayah dengan memberikan suara secara langsung dalam bilik suara. Dengan demikian meskipun hanya pemula, tetapi partisipasi mereka ikut menentukan arah kebijakan wilayah Sumatera Selatan ke depan.

Pengalaman pilkada dibeberapa daerah, pemilih pemula adalah sasaran yang menjadi perburuan suara para calon. Tak jarang berbagai carapun dilakukan untuk bisa menghimpun suara mereka. Pendidikan politik yang masih rendah di kalangan pemilih pemula adalah sumber masalah yang cukup signifikan dalam proses pilkada, tak jarang suara mereka diarahkan kepada pasangan calon dengan membawa muatan-muatan atau jargon-jargon tertentu.

Pemilih pemula yang baru mamasuki usia hak pilih pastilah belum memiliki jangkauan politik yang luas untuk menentukan ke mana mereka harus memilih. Sehingga, terkadang apa yang mereka pilih tidak sesuai dengan yang diharapkan. Alasan inipula yang menyebabkan pemilih pemula sangat rawan untuk digarap dan didekati dengan pendekatan materi. Ketidaktahuan dalam soal politik praktis, terlebih dengan pilihan-pilihan dalam pemilu atau pilkada, membuat pemilih pemula sering tidak berpikir rasional dan lebih memikirkan kepentingan jangka pendek.

Disisi lain, ada beberapa faktor yang juga turut berpengaruh terhadap pilihan para pemilih pemula, dari sebuah studi yang pernah dilakukan terungkap bahwa afiliasi politik orang tua mempunyai pengaruh yang kuat. Apabila orang tua mereka aktif dalam partai politik yang mengusung salah satu calon, terutama sebagai pengurus partai maka besar kemungkinan si anak untuk ikut. Begitu juga terhadap figur tokoh dan identifikasi politik yang diusung, variabel agama dan isu-isu politik/program dari calon ternyata tidak begitu besar pengaruhnya dalam menentukan pilihan politiknya.

Sebagai generasi yang dianggap baru dalam proses pemilihan, pemilih pemula memiliki energi potensial cukup kuat untuk melakukan perubahan. Kaum pemilih pemula yang terdiri dari pelajar, mahasiswa, atau pemilih dengan rentang usia 17-21 tahun sebenarnya di satu sisi menjadi segmen yang memang unik, seringkali memunculkan kejutan, dan tentu menjanjikan secara kuantitas. Unik, sebab perilaku pemilih pemula dengan antusiasme tinggi, relatif lebih rasional, haus akan perubahan, dan tipis akan kadar polusi pragmatisme.

Dari kecenderungan memilih tersebut, tidaklah mengherankan jika potensi munculnya golongan putih (golput) dari pemilih pemula sangat tinggi. Terlebih jika pada saat yang sama dihadapkan kepada kandidat calon kepala daerah yang kurang mendapat tempat di hati pemilih pemula. Ketiadaan pilihan kandidat kepala daerah yang dirasa pemilih pemula mampu membawa perubahan dengan rekam jejak serta program yang pas di hati pemilih pemula.

Sebaliknya jika tampak kandidat yang dirasa sesuai dengan keinginan pemilih pemula tidaklah mengherankan jika kemudian memunculkan sejumlah kejutan politik. Contoh paling anyar adalah kemenangan pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat.

Lalu akan lari kemana 9,8 persen suara pemilih pemula nanti? Memang tidak mudah untuk memperkirakan kemana suara-suara itu akan mengalir. Tampaknya program riil yang mampu ditawarkan sehingga mampu menarik minat. Jika ini gagal dimunculkan, bisa dipastikan golput adalah pilihan mereka dalam pilgub nanti. Karenanya program unggul yang mampu menarik minat, yang lenih riil dan implementatif, tidak sekadar jargon politik yang hambar dan terkesaan tidak membumi.(***)





  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2008

Oleh: Sudaryono

Ada beberapa agenda penting yang perlu kita perhatikan terkait Temu Sastrawan Indonesia (TSI) 2008 di Jambi. Agenda itu secara fundamental berkaitan dengan beberapa persoalan
yang mendesak dicarikan solusinya. Rumah tangga sastra Indonesia yang dihuni oleh sastrawan (penyair, cerpenis, novelis, penulis skenario), kritisi, media, dan masyarakat pembaca memberikan gambaran sebagai ekologi yang tidak sehat.

Artinya, masing-masing ranah sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) terkesan berjalan sendiri-sendiri dan terpisah oleh adanya jurang yang membatasi kebersamaan dan saling pengertian. Bahkan, ‘bentrok’ dan perselisihan paham di antara mereka melahirkan kegelisahan tersendiri. Ingatlah perseteruan antarkomunitas sastra akhir-akhir ini, polemik yang melibatkan media massa, langkanya kritikus yang peduli terhadap perkembangan sastra, dan minimnya apresiasi masyarakat terhadap perkembangan sastra. Tidak sehatnya
ekologi sastra Indonesia merupakan pekerjaan rumah yang harus dijadikan wacana penting dalam mengurus rumah tangga sastra Indonesia mutakhir.

Dalam perkembangan sastra pernah muncul humanisme universal, sastra kontekstual, sastra (dominasi) pusat, sastra pedalaman, sastra dekaden, sastra independen, sastra arus bawah dan seterusnya dan seterusnya. Hal ini wajar lantaran sastrawan memiliki progres, visi dan misi dalam berkarya. Hal yang tidak wajar apabila perbedaan pandangan/aliran/isme dll memunculkan konflik berkepanjangan. TSI 2008 mewadahi dan menyediakan fasilitas untuk membangun rumah tangga sastra Indonesia yang menjunjung tinggi keberagaman, kedinamisan, dan keharmonisan sehingga tercipta ekologi sastra Indonesia yang kondusif.

Keberagaman corak budaya daerah perlu diberikan ruang yang leluasa untuk dieksplorasi dalam penciptaan sastra dan diangkat di atas panggung wacana dalam iklim yang demokratis.
Karya sastra yang digali dari tradisi subkultur yang ada di Indonesia akan memberikan rona keberagaman yang manunggal dalam keindonesiaan (“Bhineka Tunggal Ika”). Keberagaman
warna lokal saat globalisasi sekarang ini menjadi penting sebab dengan keberagaman itu pula identitas lokal terwadahi.

Dengan tampilnya identitas lokal yang beragam maka sastra Indonesia mutakhir akan memberikan tawaran-tawaran tematis dan capaian estetis yang menyemarakkan denyut kehidupan sastra Indonesia. Identitas keindonesiaan dapat dibangun berdasarkan kekayaan tradisi lokal yang ada di Indonesia.

Selain keberagaman, anggota rumah tangga sastra Indonesia (sastrawan, kritikus, media, dan masyarakat) masing-masing perlu memiliki kedinamisan yang mandiri. Kedinamisan dan
kemandirian ini memiliki arti penting ketika, misalnya, ada sebagian sastrawan yang ‘ditelikung’, diintimidasi, dikekang kebebasan kreatifnya, dipinggirkan oleh pihak-pihak lain
(pemerintah, pimpinan redaktur koran, organisasi tertentu, pemilik media) memiliki kekuatan advokasi dan pembelaan secara adil dan berimbang. Kedinamisan dan kemandirian anggota rumah tangga sastra Indonesia akan memberikan iklim kondusif kedinamisan kehidupan sastra secara demokratis dan jauh dari sikap-sikap otoriter yang kelewat batas.

Muncul gagasan, mungkin para sastrawan bersatu dalam suatu wadah seperti Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Aliansi Jurnalistik Independent (AJI), Ikatan Keluarga Pengarang Indonesia (IKAPI) yang memiliki keharmonisan? Dengan keharmonisan dimungkinkan sastrawan Indonesia memiliki bargaining power dan bargaining position yang lebih baik.

Mungkin para sastrawan perlu melakukan kongres untuk membicarakan “wadah” dan sekaligus menuntaskan ketidakharmonisan. Dalam kaitan ini, melalui temu sastrawan Indonesia yang dihadiri oleh para pelaku sastra (kreator, kritisi, media, dan masyarakat pembaca) minimal dapat disepakati perlunya agenda forum sastrawan secara kontinyu.

Ekologi sastra tidak sehat, antara lain disebabkan tidak berfungsinya kritik sastra. Realitas menunjukan bahwa kuantitas penerbitan karya sastra tidak diiringi oleh kinerja kritik sastra. Kritik sastra hadir dalam bentuk catatan pengantar atau catatan penutup sebuah buku sastra.

Sepeninggal H.B. Jassin kinerja kritik sastra belum menampilkan hasil maksimal. Dalam hubungannya dengan minimnya kritikus sastra, dipandang perlu melaksanakan workshop penulisan esai/kritik sastra yang diikuti penulis muda berbakat, guru, mahasiswa yang telah biasa menulis di media massa.

Rendahnya apresiasi masyarakat terhadap karya sastra perlu dijembatani melalui Panggung Apresiasi, Pameran, dan Bazzar. Panggung Apresiasi, Pameran, dan Bazzar dapat menampilkan
atraksi keberagaman, kemandirian, kedinamisan dan keharmonisan sastra Indonesia dalam paket performance.

Dalam garis besarnya agenda Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi direncanakan sebagai berikut:

(1) Kongres Sastrawan: membicarakan (a) kemungkinan dibentuknya wadah atau forum bersama (sastrawan, kritikus, media, penerbit, apresiator); (b) pemetaan capaian estetik
sastra Indonesia, (c) keberagaman genre, gaya ungkap, dan kreativitas, dan (d) regenerasi sastrawan.

Peserta kongres: Sastrawan (3 generasi), Kritikus, media massa, penerbit, dan undangan khusus. Kongres ini direncanakan 2 hari.

(2) Workshop penulisan esai/kritik sastra: memfasilitasi para penulis muda berbakat, guru sastra, dan mahasiswa untuk mampu menulis kritik/esai sastra. Peserta berkisar 20-30
orang. Waktu whorshop di hari ketiga.

(3) Panggung Apresiasi: menampilkan sastrawan undangan khusus (penyair dan cerpenis Indonesia terpilih), menampilkan keberagaman seni di setiap kota/kabupaten dalam provinsi
Jambi, dan sanggar-sanggar seni di kota jambi. Selain itu, memberi ruang bagi olah kreativitas sastrawan kota lain (Padang, Riau, dll) yang dibatasi jumlahnya. Panggung Apresiasi ini digelar selama tiga hari di tempat yang representatif.

(4) Wisata Budaya: wisata budaya ini dimaksudkan untuk memberikan sajian keberagaman yang dimiliki Provinsi Jambi kepada peserta. Mereka misalnya diajak ke situs Candi Muaro
Jambi, Pusat batik/kerajinan, kawasan batanghari, Museum, Monumen, dsb. Waktu wisata budaya disesuaikan situasi.

(5) Penerbitan Buku Antologi: menerbitkan 2 buku, yakni: (1) Puisi, cerpen, dan esai sastrawan Indonesia yang dipilih berdasarkan seleksi dan (2) buku puisi sastrawan muda
Sumatera. Buku-buku ini dijadikan cenderamata bagi seluruh peserta Temu Sastrawan Indonesia.

(6) Pameran dan Bazaar. Pameran dan bazaar ini dimaksudkan untuk menampilkan keberagaman karya sastra didukung oleh penerbit-penerbit buku di Indonesia.

Pelaksana Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi dan didukung oleh Pemerintas Daerah, dan instansi terkait lainnya yang dalam
pelaksanaannya dibentuk panitia (berasal dari komunitas sastrawan/ seniman/budayawan/ akademisi).

Pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia direncanakan selama 3 (tiga) hari pada minggu pertama Juli 2008. Temu Sastrawan Indonesia 2008 bertema “KEBERAGAMAN, KEDINAMISAN, DAN KEHARMONISAN EKOLOGI SASTRA INDONESIA”.dengan sub-sub tema berikut:

1) Membangun rumah tangga sastra Indonesia yang mandiri dan harmonis dalam satu forum bersama sastrawan Indonesia;
2) Sastra, sastrawan, dan keberagaman dalam ekspresi dan apresiasi;
3) Regenerasi sastrawan;
4) Menata hubungan sinergis antara sastrawan, kritikus, media massa, penerbit, dan masyarakat.

Demikianlah, gambaran global Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi. Mudah-mudahan bermanfaat. Terima kasih.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)

Potret Kini Pendidikan Kita


Oleh : P. Bhairawa Putera

Staf Pengajar (Tidak Tetap) FISIP – Univ. Sriwijaya, dan Bekerja di Puslit Perkembangan IPTEK – LIPI, Jakarta.

dimuat di Padang Ekspres, edisi Senin 28 April 2008


BEBERAPA waktu yang lalu Times Higher Education Supplement (THES) kembali mengumumkan daftar 500 perguruan tinggi terbaik di dunia. Percaya atau tidak akan hasil survei yang masih dipertanyakan oleh beberapa pakar pendidikan di negeri ini. Hanya enam perguruan tinggi kita yang masuk 500 besar tersebut. Keenam perguruan tinggi; UGM (360), ITB (369), UI (395), UNDIP, Univ Airlangga, dan IPB masuk dalam peringkat 401-500.

Ada hal menarik untuk dicermati, jika mengacu pada hasil survei yang sama dilakukan pada tahun sebeumnya. Tiga perguruan tinggi Indonesia masuk dalam jajaran 300 dunia; UI (250), ITB (258), dan UGM (270). Berselang satu tahun kemudian, tepatnya 2007 ketiganya merosot hingga peringkat mendekati 400 dunia. Beberapa pakar pun mempertanyakan dasar penentuan, dan jika dikaji dengan akal sehat ataupun penalaraan orang awam akan terasa sulit untuk diterima. Mungkinkah kualitas pendidikan di negeri ini turun naik.


Metode THES

Ada empat indikator yang menjadi dasar THES dalam surveinya. Kualitas Penelitian (Research Quality) yang diperoleh dari sebaran angket pada para akademisi menempati bobot terbesar (60%). Dua indikator yang dinilai adalah yang pertama dari hasil Peer Review. Disebarkan angket online ke 190.000 akademisi dimana mereka diminta mengisi pertanyaan berdasarkan bidang kepakaran mereka, yaitu Arts - Humanities, Engineering - IT, Life Sciences - BioMedicine, Natural Sciences dan Social Sciences. Kemudian mereka diminta memilih 30 universitas terbaik dari wilayah mereka sesuai dengan bidang kepakaran tersebut. Indikator kedua adalah Citations per Faculty, alias berapa banyak publikasi paper dari peneliti (professor) di univesitas tersebut dan jumlah citation (kutipan) berdasarkan data dari the Essential Science Indicators (ESI).

Kesiapan lulusan dalam dunia kerja (Graduate Employability) juga menjadi salah satu indikator. Kreterian ini memiliki bobot 10% dengan indikator penilaian Recruiter Review. Penilaian dilakukan berdasarkan hasil survey terhadap 375 perekrut tenaga kerja.

Selain itu jumlah program internasional dan jumlah masahasiswa internasional menjadi indikator yang termasuk dalam Pandangan Internasional (International Outlook) memiliki bobot 10%, dan yang terakhir adalah Kualitas Pengajaran (Teaching Quality) dinilai dari indikator rasio jumlah mahasiswa dan fakultasnya (Student Faculty). Bobot penilaian cukup signifikan karena mencapai 20%.

Jika ditelusuri lagi dari http://uniranks.unifiedself.com, THES tidak menjelaskan dasar teknik penarikan sampel serta penyebaran sampel yang ada. Dari 190.000 kuesioner yang dikirim hanya 3703 yang direspon (2006). Itu artinya hanya 1,94 persen saja dari total kuesioner. Jumlah tersebut pun lebih banyak ditentukan dari respon kemampuan untuk mengakses internet.

Penelitian tersebut tersebar paling banyak direspon oleh Amerika Serikat dan Inggris yaitu 532 respon dari Amerika Serikat dan 378 respon dari Inggris. Namun bagaimana dengan negara-negara Asia, tercatat hanya Malaysia yang merespon 112, Singapura 92 respon, Indonesia 93 respon dan China 76 respon. Selain dari hasil survei, data-data tambahan juga diambil dari organisasi World Scientific, Mardev, JobsDB (Philippines) dan JobStreet (Malaysia).

Nah, apakah terlepas dari pro dan kotra terhadap metode THES. Setuju kiranya dengan pendapat Geger Riyanto yang muncul di salah satu Koran nasional edis 23 Januari 2008, akan lebih arif jika lebih mawas, mengkaji terlebih dahulu survei-survei secara teliti, sehingga tidak salah nantinya dalam penentuan arah dan kebijakan pendidikan di negeri ini.


Potret Pendidikan

Bukan bermaksud menepikan ataupun menyetujui hasil survei yang telah dilakukan, tetapi pada akhirnya kita tidak punya pilihan lain dan potret pendidikan di negeri ini benar-benar tercitra dengan jelas. Bahkan dari data terbaru UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia mengalami penurunan empat tingkat dari 58 dunia menjadi 62 dari 130 negara di dunia dalam hal pendidikan. Education Development Index (EDI) kita adalah 0,935 di bawah Brunei (0,965) dan Malaysia (0,945).

Situasi dalam negeri pun ikut memperkuat asumsi akan potret pendidikan kita. Pemerataan akses pendidikan, terutama di tingkat pendidikan dasar dan menengah pertama, belum tercapai. Selain itu terjadi kesenjangan pemerataan akses pendidikan di masyarakat, teruatama yang tinggal di perkotaan dan pedesaan.

Siapa yang mesti dipersalahkan? Kalimat itu yang kemudian mencuat, tetapi sebelum mencari pihak yang mesti bertanggung jawab. Alangkah baiknya jika kita mencitrakan kondisi secara mendalam. Partama, Republik ini begitu kuat dengan POLITIK. Kata yang begitu mendarah daging disetiap elemen kehidupan bangsa. Sebut saja, pada tiap pemerintahan baru pasti akan berganti kurikulum atau dengan bahasa cantik “Kebijakan Pendidikan”. Diakui atau tidak, ini sudah menjadi realita di depan mata. (Sekadar catatan kurikulum yang pernah berlaku: Kurikulum 1968, Kurikulum 1975, Kurikulum 1984, Kurikulum 1994, Kurikulum 2004, Kurikulum 2006).

Kedua, Anggaran Pendidikan. Sebuah persoalan klasik jika berbicara tentang dana anggaran, tetapi kenyataan yang ada tidak dapat dipungkri. Minimnya dana sudah tentu akan menghambat proses pembangunan pendidikan baik infrastruktur maupun suprastruktur. Pada tahun 2008, pemerintah mengalokasikan sebesar 11,8 persen dari APBN untuk pendidikan. Semoga pengalaman tahun 2007, dimana dari Rp43,5 triliun anggaran pendidikan, 25 persen dihabiskan untuk birokrasi, bukan pada peningkatan mutu pendidikan tidak terulang.

Ketiga, Kondisi Sumber Daya Manusia. Tenaga-tenaga bermutu dengan tingkat keahlian mumpuni belum sebanding dengan jumlah tunas-tunas bangsa yang siap menerima ilmu pengetahuan. Ketidak merataan tenaga pendidik yang hanya terfokus di pusat-pusat pemerintahan (kota) dibandingkan daerah-daerah yang jayh dari kota semakin membuat buram potret pendidikan kita. Jika di kota satu mata pelajaran diajarkan oleh dua atau lebih tenaga pendidik, tetapi kondisi di daerah, satu tenaga pengajar akan mengajarkan lebih dari satu mata ajar. Kondisi ini berbanding terbalik, belum lagi tingkat keahlian (kompetensi) yang dimiliki.

Tiga faktor dominan tersebut cukup mewakili peliknya persoalan pendidikan, untuk itu guna menjadikan bangsaa ini cerdas, pintar dan terampil serta berilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkan KOMITMEN yang lebih jelas dengan mengacu pada cita-cita luhur UUD 1945, jika ini masih mau dipegang.

Komitmen bisa dimanifestasikan dalam beberapa wujud, seperti keberanian pemimpin untuk memaksimalkan sektor pendidikan. Salut dan patut diancungkan jempol terhadap beberapaa kepala daerah yang telah berani melahirkan kebijakan pendidikan dengan program sekolah gratis di wilayah masing-masing, dan semoga semakin banyak daerah yang berani untuk menegakkan komitmen ini.

Wujud selanjutnya adalah partisipasi semua pihak untuk proaktif mendukung program-program pendidikan yang mencerdaskan serta aktif dalam pengembangan mutu pendidikan. Kita semua sadar betul bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap manusia, sehingga pendidikan tidak hanya bisaaa dinikmati oleh segelintir orang saja. Semoga di masa mendatang anggapan bahwa sekolah di negara maju (kapitalis) lebih murah dibandingkan di Indonesia, bahkan para mahasiswanya hanya menanggung 25-30 persen biaya pendidikan, begitu juga pada tingkat dasar – menengah dibebaskab dari biaya pendidikan. Kapan Indonesia bisa? Inilah pekerjaan rumah bagi kita yang mendiami gugusan pulau bernama Indonesia. Bagaimana dengan kita di tanah Minang ini?***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Users' Comments (0)