Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S
Duta Bahasa tingkat Nasional 2006
Tulisan ini telah dipublikasi di Radar Banten, edisi Kamis 27 Desember 2007
BAHASA, kata kunci yang kini ikut dipertanyakan keberadaannya. Andaikata tokoh-tokoh pencetus tiga ikrar dalam Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928) kini hidup kembali mungkin mereka menangis, sedih sekali, karena perilaku berbahasa Indonesia sebagian (?) orang di negeri ini. Betapa tak sangat sedih, mereka menyaksikan orang-orang Indonesia sekarang, dari kalangan tertinggi hingga terendah, yang tidak menjunjung tinggi bahasa nasional kita sendiri.
"Kami Poetra dan Poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean,
bahasa Indonesia."
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menjunjung berarti menuruti, menaati. Sedangkan menjunjung tinggi berarti memuliakan, menghargai, dan menaati. Nah, apakah kita masih menjunjung bahasa persatuan itu? Untuk menjawab pertanyaan ini periksalah diri masing-masing.
Kemampuan berbahasa Indonesia sebagai alat komunikasi menjadi tuntutan utama bagi setiap warga negara Indonesia untuk berhubungan dengan orang-orang dari daerah lain atau dari suku lain.
Kelancaran berbicara dan jarangnya terjadi kontak dan paham pada waktu berhubungan dengan memakai Bahasa Indonesia dengan orang lain, baik di kantor, di pasar, dipertemuan-pertemuan atau di tempat-tempat lain membutuhkan perasaan mau berbahasa Indonesia. Perasaan tersebut pada gilirannya menimbulkan keengganan mempelajari Bahasa Indonesia secara bersungguh-sungguh, karena tanpa belajarpun mereka pada kenyataannya mampu menggunakan bahasa tersebut.
Perkembangan suatu bahasa berjalan seirama dengan perkembangan bahasa pemiliknya. Bahasa Indonesia masih sangat muda usianya, tidak mengherankan apabila dalam sejarah pertumbuhannya, perkembangan bahasa asing yang lebih maju, seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda, bahasa Perancis, bahasa Jerman dan bahasa Arab.
Seperti kita maklumi perkembangan ilmu pengetahuan dewasa ini dikuasai oleh bangsa-bangsa Barat. Merupakan hal yang wajar apabila bahasa mereka pula yang menyertai penyebaran ilmu pengetahuan tersebut ke seluruh dunia.
Indonesia sebagai negara yang baru berkembang tidak mustahil menerima pengaruh tersebut. Kemudian masuklah ke dalam Bahasa Indonesia istilah-istilah atau kata-kata asing, karena memang pengertian dan makna yang dimaksudkan oleh kata-kata asing tersebut belum ada dalam Bahasa Indonesia. Sesuai dengan sifatnya sebagai bahasa represif, sangat membuka kesempatan untuk itu.
Melihat dan menyaksikan keadaan semacam ini, timbullah beberapa anggapan yang kurang baik. Bahasa Indonesia dianggap sebagai bahasa yang miskin, tidak mampu mendukung ilmu pengetahuan modern, tidak seperti bahasa Inggris dan Jerman misalnya.
Pada pihak lain muncul sikap medewa-dewakan dan mengagung-agungkan bahasa Inggris atau bahasa asing lainnya.
Dengan demikian timbul anggapan mampu berbahasa Inggris atau bahasa asing lainnya merupakan ukuran terpelajar atau tidaknya seseorang. Alhasil hasrat atau motivasi untuk belajar menguasai bahasa lain atau bahasa asing lebih tinggi dari pada hasrat untuk belajar dan menguasai bahasa sendiri. Kenyataan adanya efek sosial yang lebih baik bagi orang yang mampu berbahasa asing ketimbang yang mampu berbahasa Indonesia, hal ini lebih menurunkan lagi derajat Bahasa Indonesia di mata orang awam.
“Berbahasa” di Ruang Generasi Muda
Generasi muda sebagai pilar utama dalam keberlangsungan bangsa ini, ternyata mulai iut dipertanyakan keberadaanya. Tidak hanya ketika ide dan pemikiran tetapi pengantar ataupun bahasa yang dituturkan ikut menjadi bagian terpenting di dalamnya. Sebagai sebuah contoh, lihatlah keberadaaan genre novel yang tengah populer pada masa kini, "teenlit", alias "teen literature". Karya fiksi ini mendapat sambutan yang luar biasa dari penggemarnya (yang semagian besar adalah remaja). Buktinya, karya-karya fiksi berlabel "teenlit" ini sampai dicetak berkali-kali. Sebut saja "Dealova" karya Dyan Nuranindya yang langsung ludes 10 ribu eksemplar hanya dalam tempo sebulan. Malahan, "Dealova" juga telah diangkat ke layar lebar.
Aspek yang rasanya juga jelas terlihat ialah aspek bahasa. Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa dialek Jakarta turut hadir dalam novel genre ini. "Loe-gue" yang dihadirkan tidak sekadar membuat "teenlit" begitu terasa dekat dengan para remaja, tapi justru dunia remaja yang demikian itulah yang tercermin lewat "teenlit". Belum lagi cara penyajiannya yang menyerupai penulisan buku harian, lebih membangkitkan keterlibatan para pembacanya. Keberadaan bahasa Indonesia di dalamnya tidak terencana, tidak terpola dengan baik, apa saja bisa masuk. Baik pada percakapan (dialog) maupun pada deskripsi, bahasa yang dipakai adalah bahasa gaul, bahasa prokem, bahasa slang, yang hanya dimengerti oleh anak remaja. Keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali.
Lihatlah nama acara-acara di stasiun-stasiun televisi, siaran nasional, dan daerah. Simaklah laporan kalangan wartawan televisi dan radio (mereka pakai istilah reporter). Perhatikanlah ucapan-ucapan pembawa acara (mereka menyebutnya presenter) di layar kaca. Dengarlah dengan cermat bahasa mereka yang sehari-hari tampil di televisi, dalam acara apa pun.
Dengarlah nama-nama acara di stasiun-stasiun radio siaran. Bacalah nama-nama rubrik di media massa cetak. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nonfiksi yang dijual di toko-toko buku, di pasar buku, atau di kaki lima sekalipun. Simaklah dosen dan guru (terutama yang masih muda) yang sedang mengajar di depan kelas. Dengarkanlah petinggi atau pejabat negara yang sedang berpidato atau berbicara kepada wartawan.
Tiap detik dengan mudah kita mendengarkan bahasa buruk. Contohnya, gue banget, thank you banget, ya!, please, eh, jangan ngomongin aib pacarnya dia, demikian laporan reporter kami, dia presenter, sampai jumpa pada headline news satu jam mendatang, To day's dialouge kita malam ini..., Top nine news, Top of the top, kita harus bekerja sesuai dengan rundown."
Semakin lama semakin banyak orang yang berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tidak mengindahkan norma atau aturan berbahasa yang berlaku resmi. Kalau benar isi pepatah lama, "Bahasa menunjukkan bangsa", maka untuk mengetahui dan mengurai "wajah" negara dan bangsa kita kini tak usah mendatangkan ahli dari Amerika Serikat atau Australia.
Mengobati "penyakit" berbahasa yang sudah parah diperlukan usaha bersama semua pemangku kepentingan bahasa Indonesia untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang Indonesia. Warga negara yang sangat bangga sebagai orang Indonesia tentunya (seharusnya) juga mencintai bahasa nasionalnya sendiri. Kita, putra-putri Indonesia abad 21, yang benar-benar mencintai bahasa Indonesia pastilah menjungjung tinggi bahasa persatuan kita. Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Kebahasaan yang dibuat tahun lalu.
Banyak bangsa lain, seperti Filipina dan India, merasa iri dan sangat terkagum-kagum terhadap bangsa kita karena memiliki bahasa persatuan, bahasa negara, bahasa nasional. Ini merupakan salah satu jati diri asli bangsa kita.
Masyarakat komunikatif tercipta dengan mampu merasakan kepekaan dan kepedulian serta siap beragumentasi untuk memecahkan permasalahan kompleks yang diidap. Kongkritnya dengan cara itu, dapat mengawal masa-masa sulit ini menuju suatu arah yang tepat. Bagaimanapun menyiapkan seperangkat infrastruktur yang kapabel menyikapi setiap kejutan-kejutan arah angin perubahan secara tenang dan penuh perhitungan dalam konsensus, dapat menyediakan energi yang berlimpah ketika kita amat membutuhkannya. Mengkedepankan prioritas tidak bermakna mengesampingkan kebutuhan lainnya.
Barangkali, sebagai bagian dari bangsa ini. Memang yang lebih diperlukan adalah kemampuan memelihara memori dan mengambil pelajaran dari apa yang sudah bersama kita lalui sebagai sebuah bangsa. Sebuah refleksi adalah juga jalan untuk upaya merawat ingatan; bahwa kemerdekaan ini adalah hasil perjuangan beratus dekade oleh berjuta pejuang; bahwa otoriterianisme merupakan jalan yang tidak kita inginkan sebagai bangsa yang bercita-cita dewasa; bahwa represifitas melumpuhkan demokrasi dan intelektualitas; bahwa kebebasan berpikir dan bersuara telah dibayar mahal oleh nyawa yang tak ternilai; bahwa korupsi dan kawan-kawannya telah menghancurkan sendi-sendi keadilan dan meluluhlantakkan harapan untuk hidup makmur, sejahtera, dan berkeadilan; bahwa wajah pendidikan menentukan karakter bangsa; bahwa persoalan bangsa ini adalah persoalan yang harus kita selesaikan secara bersama-sama; bahwa jauh dari tempat kita berada banyak sosok yang tulus bergerak untuk sesuatu yang memiliki nilai kontribusi tinggi daripada kita yang hanya berdiam sambil berpura diskusi dan turut berpikir.
Pada berbagi kegiatan pun diharapkan masyarakat terutama orang muda harus merasa ikut memiliki lambang jati diri bangsa Indonesia. Rasa ikut memiliki itu akan mengukuhkan rasa persatuan terhadap satu tanah air, satu negara kesatuan, satu bangsa, satu bahasa persatuan, satu bendera, satu lambang negara, dan satu lagu kebangsaan. Pada gilirannya rasa persatuan itu akan menjauhkan perpecahan bangsa sekalipun berada dalam era reformasi dan globalisasi.
Akhirnya marilah kita mulai tumbuhkan kembali kesadaran dalam diri masing-masing untuk berbahasa Indonesia dengan baik, benar, dan indah. Ketika berbahasa asing, berbahasa asinglah dengan baik! Ketika berbahasa daerah, berbahasa daerahlah dengan baik! Ketika berbahasa nasional, berbahasa nasionallah dengan baik pula!***