Ambiguitas Pengelolaan Hutan Indonesia


MENILIK perjalanan bangsa, semakin hari akan semakin mudah untuk menemukan keanehan dan kecenderungan kurang berpihak terhadap eksistensi sebuah bangunan bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Padahal bangunan tersebut didirikan dengan perjuangan mahal yang puncaknya ketika proklamasi berkumandang 17 Agustus 1945 silam.

Keanehan kembali muncul, di awal tahun 2008 publik kehutanan Indonesia dikejutkan dengan lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2008 tentang Penerimaan Nasional Non Pajak dari Pemanfaatan Kawasan Hutan. Peraturan ini mendatangkan permasalahan dengan semakin terbukanya akses bagi investor dan industri pertambangan dengan hak sewa atas kawasan hutan.

Dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata ambigu bermakna lebih dari satu (sehingga kadang-kadang menimbulkan keraguan, kekaburan, ketidakjelasan) atau dengan kata lain bermakna ganda, mungkin itu pulalah yang terjadi pada pengelolaan hutan di Indonesia.

Keanehan dalam pengelolaan hutan di Indonesia telah muncul ketika terbitnya Peraturan Perundangan-undangan (Perpu) No. 1 Tahun 2004. Perpu tersebut berhasil mencari celah terhadap Undang-undang No. 41 Tahun 1999 pasal 38 ayat 4 yang melarang penambangan terbuka di hutan lindung. Pada pasal 83 ayat A dengan jelas melegalkan kegiatan penambangan terbuka di hutan lindung. Kehadiran Perpu tersebut telah menghilangkan 71 juta ha lahan hutan. Bahkan Sawit Watch (2008) mencatat laju kerusakan hutan sepanjang 2005 hingga 2006 mencapai 2,76 juta ha.

Kelahiran PP No. 2/2008 menarik untuk dilihat dari perspektif ekonomi. Sebagaimana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa keluarnya PP tersebut bukan berarti pemerintah memperjualbelikan hutan.

Semangat dari peraturan itu adalah untuk mengatur perusahaan yang sudah memiliki izin pertambangan di kawasan hutan wajib memelihara, merehabilitasi, menghutankan, atau menghijaukan kembali hutan yang rusak akibat penambangan. Menurut Presiden, kebijakan tersebut merupakan lanjutan dari apa yang dilakukan pemerintah sebelumnya. Tujuannya agar hutan makin lestari, mendatangkan penerimaan negara untuk ekonomi, untuk kesejahteraan rakyat.

Namun, hal ini akan menjadi aneh. Entah teori ekonomi apa yang dianut dan dijalankan pemerintah, dengan tak menghargai elemen kekayaan alam yang terkandung di perut bumi serta fungsi hutan lindung. Mestinya pemerintah tidak hanya berharap dari pungutan hasil tambang, tapi juga menghargai nilai guna tanahnya. Nilai guna tanah hutan lindung adalah nilai keselamatan rakyat yang jauh lebih mahal dibandingkan nilai ekonomi.

Berdasar data Greenomics, Indonesia mendapatkan tarif sewa dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) untuk 13 perusahaan tambang di hutan lindung itu hanya sebesar Rp 2,78 triliun per tahun. Itu hanya 3,96 persen dari total potensi kerugian yang akan ditimbulkan akibat aktivitas tambang terbuka yang diperkirakan mencapai angka Rp 70 triliun per tahun. (Suara Pembaruan, 25 Februari 2008)

Masyarakat dan Hutan Indonesia

Sebelum hadirnya kebijakan PP No. 2/2008, masyarakat hutan Indonesia telah mengalami ketidakberdayaan. Petani hutan yeng terkelompok dalam komunitas-komunitas adat dan lokal, tidak dapat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Padahal kehidupan keseharian para petani selalu bersinggungan dengan hutan sebagai sumber kayu bakar, tanaman obat, madu, buah-buahan, padi dan lain-lain. Undang-undang Pokok Kehutanan No. 5 tahun 1967 pun tidak memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat hutan Indonesia.

Sepertinya akan sulit mencari catatan tentang kebijakan yang dikeluarkan untuk mengatur kepentingan petani hutan. Sebagai contoh, sedari tahun 1980-an masyarakat petani hutan di Padang Cermin, Lampung Selatan, telah mengusulkan kawasan Gunung Betung untuk dijadikan kawasan pengelolaan masyarakat namun selalu mendapat penolakan dari pemerintah daerah maupun pusat (Departemen Kehutanan RI). Beberapa daerah lainnya, petani hutan terusir dari kawasan tempat hidup. Indonesia sendiri, memiliki sekitar 1.800 desa yang berbatasan dengan 14 kawasan konservasi di 5 pulau besar di Indonesia.

Konflik-konflik terbuka antara petani dan petugas kehutanan mencuat sebagai reaksi dan perwujudan kebingungan masyarakat terhadap tempat hidup mereka. Pengusiran masyarakat adat Moronene di Nusatenggara dari kawasan hutan, bagaimana lahan dan tanaman kopi petani dirusak karena petani dianggap masuk ke kawasan hutan konservasi. Masyarakat adat Lore Lindu di Sulawesi Tengah sudah beberapa kali mengalami “resettlement”. Masyarakat Kontu, Muna, Sulawesi Tenggara, ladang-ladang mereka dibakar aparat kehutanan dan pemerintah karena pokok-pokok pohon jati yang menggiurkan, sehingga kawasan yang turun-temurun itu diolah masyarakat Kontu dianggap kawasan lindung yang pengawasannya di bawah kehutanan dan pemerintah daerah. Dan banyak kasus “resettlement” dilakukan dengan berbagai alasan.

Kondisi memprihatinkan juga terjadi pada petani hutan di pulau Jawa. Awang (2006) mengemukakan bahwa seorang petani hutan di pulau Jawa memiliki lahan hanya 0,2 hektar, padahal luas minimum untuk pemenuhan kebutuhan hidup per-KK (kepala keluarga) di Jawa membutuhkan 0,5 hektar.

Lindung dan Dilindungi

Tarik menarik kepentingan dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia telah menimbulkan efek kebingugan. Esensialnya Departemen Kehutanan (Deptan) melalui UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan melarang penambangan dengan pola terbuka di kawasan hutan lindung. Pada ayat 3 dan 4 pasal 38 secara tegas menyebutkan bahwa di kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola penambangan terbuka. Pola pertambangan terbuka dimungkinkan di kawasan hutan produksi dengan ketentuan khusus dan secara selektif, antara lain melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri Kehutanan dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.

Kehadiran pasal tersebut menjadi begitu penting, mengingat fungsi kawasan lindung dan kawasan konservasi sebagai sistem penyangga kehidupan. Kerusakan hutan lindung dan kawasan konservasi berdampak luas, di musim kemarau akan menyebabkan kekeringan, dan di musim hujan dapat menyebabkan tanah longsor dan banjir, terutama bila curah hujannya tinggi. Musibah bencana alam tersebut berdampak pula pada menurunnya kegiatan ekonomi masyarakat dalam waktu yang lebih panjang. Selain itu, limbah pembuangan dari kegiatan pertambangan dalam jangka panjang sering menjadi masalah lingkungan yang dampaknya cukup besar.
Kemunculan PP Nomor 2 Tahun 2008 di awal Februari lalu semakin membuat nasib kehutanan Indonesia di ujung kehancuran. Semakin banyak investor tertarik untuk mendapat izin pertambangan karena tidak perlu lagi repot-repot mencari lahan pengganti (konversi) seperti ketentuan sebelumnya. Mereka cukup membayar kompensasi lahan, yang menurut perhitungan besarnya Rp 300 per meter persegi untuk setiap tahunnya.

Bencana secara ekologis akan sering kita jumpai dan bukan hanya itu, benih-benih potensial meluasnya skala konflik baik konflik vertikal antara rakyat yang bermukim di kawasan dan sekitar hutan dengan pemerintah dan perusahaan tambang maupun konflik horizontal yang terjadi diantara rakyat itu sendiri. Dengan demikian kemunculan PP ini akan semakin menyulitkan keberadaan hak-hak masyarakat adat dan lokal dari sumber daya hutan. Hal itu karena mekanisme dalam PP memungkinkan negara memakai tangan besi untuk mengambil alih lahan/hutan adat untuk dikonsesikan sebagai hutan kelola dengan hak sewa. Kekhawatiran itu sangat tidak berlebihan karena peraturan perundang-undangan tentang kehutanan memang tidak mengakui hutan-hutan adat karena semua hutan adalah milik negara. Negara melalui Departemen Kehutanan (Dephut) bisa mengambil alih sewaktu-waktu hutan adat atas nama undang-undang. Lalu, masih adakah keyakinan untuk mempertahankan PP No 2/2008? (*)

ditulis Oleh : Prakoso Bhairawa Putera S, peneliti Pusat Penelitian Perkembangan IPTEK (LIPI)
dipublikasi : Bangka Pos edisi Sabtu 21 Juni 2008

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: