:episode Tiga
Puisi : Prakoso Bhairawa Putera
pagi baru saja bermula bersama kepak sayap sekawanan camar
mengiring nyanyian anak pesisir yang malu
bercengkerama dengan ombak
dan menarikan saman diantara riak gelombang
yang selalu menjilati telapak mungil mereka
di timur sinar matahari masih satu-dua mencumbui bibir pantai barat Aceh
kepak camarpun terlalu berat buat mengangkasa
tapi interaksi lempeng Indo-Australia dan Eurasia
telah memaksa bocah pantai berlari
mengemasi ikan-ikan yang tak bisa berenang
lantaran air laut tiba-tiba lenyap
“ aku tak bisa mencegah mereka”
seekor camar tersudut hampa memandang
perkampungan nelayan yang kini rata
sekawanan camar coba menerbangkan diri lebih tinggi
butir partikel derita anak tanah rencong
memulai hingga ke langit dan mengirim nyeri keseluruh tubuh
di Meulaboh sekelompok camar kecil berputar
ada ribuan malaikat pengangkut roh di sana
berjaga diantara ratap, tangis dan puing tsunami
siap membuat jiwa putih naik ke surga
camar mulai tak sanggup bercerita
“ dua generasi hilang”
camar besar terbata
cinta para peri ada di mana
pada laut Aceh dengan kapal induk asing
atau pada tanah perjuangan Cut Nyak Dien
dengan dipadati kamp hijau pengungsian
dan ditiap jengkal bumi serambi
telah sesak oleh kuburan massal
sedang rumah pesisir tak bisa diandalkan
“ camar besar, matahari telah mengirim cahaya
pembasuh tiap rona anak-anak Aceh
daratan telah diluluhlantakkan tapi di hati
mereka tertancap asa keceriaan muda
camar, mari terbang ada yang harus dibangun di sana!”
0 komentar:
Posting Komentar