Minat Baca, Siapa Peduli?
Oleh Hikmat Kurnia
Dunia perbukuan Indonesia memang berkembang. Jumlah buku yang diterbitkan semakin bertambah. Walaupun belum ada data pasti tentang jumlah buku baru yang terbit da;am setahun, namun mengacu kepada jumlah buku yang diterima jaringan toko buku besar, seperti Gramedia dan Gunung Agung, setidaknya Indonesia mampu menerbitkan 12.000 judul buku baru dalam setahun. Jumlah tersebut tidak termasuk buku yang cetak ulang dalam tahun yang sama. Dengan rata-rata tercetak untuk satu judulnya 3.000 eksemplar, maka setidaknya para penerbit Indonesia mampu menghasilkan 36.000.000 eksemplar buku dalam setahun.
Secara jumlah ilustrasi tersebut kelihatannya tergolong besar. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 250.000.000 orang, angka itu sangat memprihatinkan. Jika semua buku tersebut habis terserap pembaca, maka satu buku dikonsumsi oleh 6 sampai 7 orang dalam setahun. Celakanya, perbandingan tersebut belum dianggap mewakili, karena pola distribusi buku di Indonesia yang kurang merata. Toko-toko buku yang memadai sangat terkonsentrasi pada kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Jogyakarta, Semarang, dan lain-lain. Bahkan, jika memperhitungkan daya serap pasar, lebih dari 40% buku diserap oleh pembaca yang ada di wilayah Jabodetabek.
Dari data tersebut bisa dipahami hasil temuan UNDP tentang minat baca masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil temua UNDP, posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Untuk Kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos. Masing-masing berada di urutan angka seratus. Apa pun alasannya, posisi Indonesia yang terlalu rendah dalam minat baca ini tentu sangat memprihatinkan bagi bangsa yang mengklain sebagai bangsa besar.
Oleh sebab itu, perlu ada upaya konkret dalam meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Sebagai langkah awal, bisa dikembangkan dari lingkungan keluarga, kemudian beralih ke lingkungan yang lebih luas di masyarakat. Untuk meningkatkan minat baca ini ada baiknya kita meniru budaya yang dikembangkan Jepang. Di sana ada gerakan 20 minutes reading of mother and child. Gerakan ini mengharuskan seorang ibu mengajak anaknya membaca selama 20 menit sebelum tidur. Gerakan ini bisa sangat efektif jika didukung oleh kesadaran yang tinggi, ketersedian buku yang memadai (termasuk kemudahan mendapat buku yang cocok), dan dukungan dari berbagi pihak.
Faktor lainnya yang perlu didorong adalah pola kebiasaan keluarga menghabiskan akhir pekannya. Keluarga Indonesia harus didorong untuk lebih memilih jalan-jalan ke toko buku atau perpustakaan, sehingga lebih mengasah intektulitas dan akrab dengan buku.
Minimnya pemberitaan tentang orang-orang yang berhasil karena membaca buku ikut menjadi factor penting rendahnya minat baca. Hal lain yang perlu dikritik adalah rendahnya pemberian penghargaan pada karya intelektual. Hal ini ikut mendorong masyarakat malas berkarya dan membaca.
Hari Buku Nasional
Memperhatikan banyaknya faktor yang mempengaruhi lemahnya minat baca ini, mau tidak mau semua elemen perbukun harus berupaya melakukan langkah konkret dalam mewujudkan generasi gemar membaca.
Ikapi sebagai organisasi yang berada di garda terdepan dalam pengembangan perbukuan Indonesia merasa perlu untuk melakukan kampanye pentingnya buku dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai titik tolaknya, Ikapi telah mempelopori untuk mencanangkan 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional.
Dengan dicanangkannya 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional, maka setiap tahun Ikapi akan terus berupaya menjadikan buku sebagai bagian dari gaya hidup. Untuk tahun ini perayaan Hari Buku Nasional akan ditunjukkan untuk mendorong kalangan perbukuan, baik penulis, penerbit, editor, illustrator, desainer, distributor, toko buku dan lain-lain, memberi penyadaran (awarness) pada masyarakat Indonesia tentang pentingnya buku.
Jika buku sudah menjadi gaya hidup, masyarakat tidak lagi berjarak dengan buku. Posisi buku pun sudah dianggap sebagai kebutuhan sehari-hari. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi menyikapi buku dengan kening berkerut, karena setiap kalangan, profesi, usia, atau latar belakang lainnya mempunyai buku masing-masing. Artinya, buku tidak lagi dipandang secara elitis yang ditulis, diterbitkan, dan dibaca oleh kalangan tertentu. Buku jadinya milik semua orang.
Dengan mimpi menjadikan buku sebagai milik semua orang, perayaan Hari Buku Nasional tahun ini, Ikapi Jaya berkerja sama dengan Perpumda DKI Jaya merencanakan untuk menggelar tiga kegiatan konkret. Kegiatan pertama, pembagian minimal 1.000 stiker, blocknote, dan pulpen dengan tulisan yang mendorong pentingnya minat baca bagi pengendara mobil dan motor yang melintas di Bundaran Hotel Indonesia dan tempat-tempat lain yang strategis. Demo simpatik ini bertujuan menggugah masyakarat tentang pentingnya minat baca. Pada moment ini diharapkan berbagai kalangan, khususnya pegiat perbukuan terlibat secara nyata.
Kegiatan kedua, adalah pembagian minimal 1.000 buku bagi rumah-rumah baca yang berada di wilayah Jabodetabek. Acara ini ditunjukkan untuk memberi contoh konkret bahwa penerbit yang bergabung Ikapi dan Perpumda DKI Jaya adalah organisasi yang sangat peduli bagi berkembangnya minat baca masyarakat, teruatama masyarakat kurang beruntung. Dalam acara ini peran serta penerbit yang mempunyai buku yang masih baik tetapi tidak layak jual sangat dibutuhkan, karena dari penerbitlah sumber buku bisa diperoleh. Ini juga semacam CSR bagi kalangan penerbit.
Cara lainnya untuk untuk mendorong minat baca adalah dengan memberikan keterampilan menulis bagi masyakarat. Selama ini masyakat Indonesia dalam bidang perbukuan lebih banyak berperan sebagai konsumen saja. Hanya menjadi pembaca. Padahal, untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia juga harus didorong untuk memiliki keterampilan menulis. Asumsinya, untuk menulis satu buku, setidaknya seoarang penulis membutuhkan lima buku pembanding, referensi, atau bahan bacaan. Oleh sebab itu, kegiatan ketiga yang akan digelar dalam Hari Buku Nasional tahun ini adalah Bengkel Penulisan Buku bagi 300 orang, terutama pelajar dan Mahasiswa secra gratis. Kegiatan ini dipertlukan untuk mendekatkan pelajar dan mahasiswa dengan kalangan perbukuan.
Perlu disadari peringatan Hari Buku Nasional hanyalah salah satu langkah pengembangan minat baca masyarakat Indonesia. Kegiatan tersebut tidak akan berarti apa-apa tanpa konsinsensi dan keterlibatan banyak pihak. Rasanya, kalau semua pihak perbukuan, termasuk pemerintah menyadari pentingnya minat baca, posisi Indoinesia dalam minat baca akan tergerek naik. Semoga.
Dari data tersebut bisa dipahami hasil temuan UNDP tentang minat baca masyarakat Indonesia. Berdasarkan hasil temua UNDP, posisi minat baca Indonesia berada di peringkat 96, sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Untuk Kawasan Asia Tenggara, hanya ada dua negara dengan peringkat di bawah Indonesia, yakni Kamboja dan Laos. Masing-masing berada di urutan angka seratus. Apa pun alasannya, posisi Indonesia yang terlalu rendah dalam minat baca ini tentu sangat memprihatinkan bagi bangsa yang mengklain sebagai bangsa besar.
Oleh sebab itu, perlu ada upaya konkret dalam meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia. Sebagai langkah awal, bisa dikembangkan dari lingkungan keluarga, kemudian beralih ke lingkungan yang lebih luas di masyarakat. Untuk meningkatkan minat baca ini ada baiknya kita meniru budaya yang dikembangkan Jepang. Di sana ada gerakan 20 minutes reading of mother and child. Gerakan ini mengharuskan seorang ibu mengajak anaknya membaca selama 20 menit sebelum tidur. Gerakan ini bisa sangat efektif jika didukung oleh kesadaran yang tinggi, ketersedian buku yang memadai (termasuk kemudahan mendapat buku yang cocok), dan dukungan dari berbagi pihak.
Faktor lainnya yang perlu didorong adalah pola kebiasaan keluarga menghabiskan akhir pekannya. Keluarga Indonesia harus didorong untuk lebih memilih jalan-jalan ke toko buku atau perpustakaan, sehingga lebih mengasah intektulitas dan akrab dengan buku.
Minimnya pemberitaan tentang orang-orang yang berhasil karena membaca buku ikut menjadi factor penting rendahnya minat baca. Hal lain yang perlu dikritik adalah rendahnya pemberian penghargaan pada karya intelektual. Hal ini ikut mendorong masyarakat malas berkarya dan membaca.
Hari Buku Nasional
Memperhatikan banyaknya faktor yang mempengaruhi lemahnya minat baca ini, mau tidak mau semua elemen perbukun harus berupaya melakukan langkah konkret dalam mewujudkan generasi gemar membaca.
Ikapi sebagai organisasi yang berada di garda terdepan dalam pengembangan perbukuan Indonesia merasa perlu untuk melakukan kampanye pentingnya buku dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai titik tolaknya, Ikapi telah mempelopori untuk mencanangkan 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional.
Dengan dicanangkannya 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional, maka setiap tahun Ikapi akan terus berupaya menjadikan buku sebagai bagian dari gaya hidup. Untuk tahun ini perayaan Hari Buku Nasional akan ditunjukkan untuk mendorong kalangan perbukuan, baik penulis, penerbit, editor, illustrator, desainer, distributor, toko buku dan lain-lain, memberi penyadaran (awarness) pada masyarakat Indonesia tentang pentingnya buku.
Jika buku sudah menjadi gaya hidup, masyarakat tidak lagi berjarak dengan buku. Posisi buku pun sudah dianggap sebagai kebutuhan sehari-hari. Dengan begitu, masyarakat tidak lagi menyikapi buku dengan kening berkerut, karena setiap kalangan, profesi, usia, atau latar belakang lainnya mempunyai buku masing-masing. Artinya, buku tidak lagi dipandang secara elitis yang ditulis, diterbitkan, dan dibaca oleh kalangan tertentu. Buku jadinya milik semua orang.
Dengan mimpi menjadikan buku sebagai milik semua orang, perayaan Hari Buku Nasional tahun ini, Ikapi Jaya berkerja sama dengan Perpumda DKI Jaya merencanakan untuk menggelar tiga kegiatan konkret. Kegiatan pertama, pembagian minimal 1.000 stiker, blocknote, dan pulpen dengan tulisan yang mendorong pentingnya minat baca bagi pengendara mobil dan motor yang melintas di Bundaran Hotel Indonesia dan tempat-tempat lain yang strategis. Demo simpatik ini bertujuan menggugah masyakarat tentang pentingnya minat baca. Pada moment ini diharapkan berbagai kalangan, khususnya pegiat perbukuan terlibat secara nyata.
Kegiatan kedua, adalah pembagian minimal 1.000 buku bagi rumah-rumah baca yang berada di wilayah Jabodetabek. Acara ini ditunjukkan untuk memberi contoh konkret bahwa penerbit yang bergabung Ikapi dan Perpumda DKI Jaya adalah organisasi yang sangat peduli bagi berkembangnya minat baca masyarakat, teruatama masyarakat kurang beruntung. Dalam acara ini peran serta penerbit yang mempunyai buku yang masih baik tetapi tidak layak jual sangat dibutuhkan, karena dari penerbitlah sumber buku bisa diperoleh. Ini juga semacam CSR bagi kalangan penerbit.
Cara lainnya untuk untuk mendorong minat baca adalah dengan memberikan keterampilan menulis bagi masyakarat. Selama ini masyakat Indonesia dalam bidang perbukuan lebih banyak berperan sebagai konsumen saja. Hanya menjadi pembaca. Padahal, untuk meningkatkan minat baca masyarakat Indonesia juga harus didorong untuk memiliki keterampilan menulis. Asumsinya, untuk menulis satu buku, setidaknya seoarang penulis membutuhkan lima buku pembanding, referensi, atau bahan bacaan. Oleh sebab itu, kegiatan ketiga yang akan digelar dalam Hari Buku Nasional tahun ini adalah Bengkel Penulisan Buku bagi 300 orang, terutama pelajar dan Mahasiswa secra gratis. Kegiatan ini dipertlukan untuk mendekatkan pelajar dan mahasiswa dengan kalangan perbukuan.
Perlu disadari peringatan Hari Buku Nasional hanyalah salah satu langkah pengembangan minat baca masyarakat Indonesia. Kegiatan tersebut tidak akan berarti apa-apa tanpa konsinsensi dan keterlibatan banyak pihak. Rasanya, kalau semua pihak perbukuan, termasuk pemerintah menyadari pentingnya minat baca, posisi Indoinesia dalam minat baca akan tergerek naik. Semoga.
0 komentar:
Posting Komentar