Kerancuan Berbahasa (2)

Oleh : R. Panji Bhairawa

BAHASA menunjukkan bangsa, sebuah kalimat yang begitu membekas dan menjadikan kekuatan besar jika kita benar-benar memahaminya. Orang muda, sebuah tahapan dalam perjalanan hidup. Acap melupakan bahkan sengaja untuk melupakan identitas aslinya. Namun, jika kita sadar bahwa bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi, tetapi sekaligus objek perkembangan budaya masyarakat dan bangsa.

Mari sama-sama kita kaji lebih mendalam. Bahasa sebagai alat, ia membentuk persepsi seseorang terhadap objek yang dibahasakan. Sebagai penanda (signifie), ia merepresentasikan petanda (signifiant) yang ingin dibahasakan. Sebagai objek, perkembangan bahasa–termasuk di dalamnya adalah pola pengucapan, kesantunan berbahasa–dalam masyarakat mempengaruhi dan dipengaruhi perkembangan kultur masyarakat tersebut. Bahkan pada tingkat tertentu, tingkat keberadaban sebuah komunitas bisa dilihat dari pola berbahasa yang ada di komunitas tersebut; bahasa pesisir berbeda dengan bahasa pedalaman, bahasa kota berbeda dengan bahasa kampung, dan sebagainya.

Lantas, bagaimana kegiatan berbahasa pada orang-orang muda? Seperti yang saya kemukakan sebelumnya, begitu banyak temuan-temuan kerancuan bahasa di ruang generasi muda.

Gaya bahasa gaul, yang sebenarnya merupakan bahasa dialek Jakarta turut hadir dalam kehidupan sehari. Kini tercipta situasi akut pada ruang berbahasa pada orang-orang muda, keberagaman bahasa dan warna-warni percakapan tidak dapat dipola dan hampir tidak terkendali.

Lihatlah nama acara-acara di stasiun-stasiun televisi, siaran nasional, dan daerah. Perhatikanlah ucapan-ucapan pembawa acara (mereka menyebutnya presenter) di layar kaca. Dengarlah dengan cermat bahasa mereka yang sehari-hari tampil di televisi, dalam acara apa pun.

Dengarlah nama-nama acara di stasiun-stasiun radio siaran. Bacalah nama-nama rubrik di media massa cetak. Perhatikanlah judul buku-buku fiksi dan nonfiksi yang dijual di toko-toko buku, di pasar buku, atau di kaki lima sekalipun.

Tiap detik dengan mudah kita mendengarkan bahasa buruk. Contohnya, gue banget, thank you banget, ya!, please, eh, jangan ngomongin aib pacarnya dia, demikian laporan reporter kami, dia presenter, sampai jumpa pada headline news satu jam mendatang, To day’s dialouge kita malam ini..., Top nine news, Top of the top, kita harus bekerja sesuai dengan rundown.”

Semakin lama semakin banyak orang yang berbahasa Indonesia dengan seenaknya, tidak mengindahkan norma atau aturan berbahasa yang berlaku resmi. Kalau benar isi pepatah lama, “Bahasa menunjukkan bangsa”, maka untuk mengetahui dan mengurai “wajah” negara dan bangsa kita kini tak usah mendatangkan ahli dari Amerika Serikat atau Australia.

Mengobati “penyakit” berbahasa yang sudah parah diperlukan usaha bersama semua pemangku kepentingan bahasa Indonesia untuk kembali menumbuhkan rasa bangga sebagai bangsa atau orang Indonesia. Warga negara yang sangat bangga sebagai orang Indonesia tentunya (seharusnya) juga mencintai bahasa nasionalnya sendiri. Kita, putra-putri Indonesia abad 21, yang benar-benar mencintai bahasa Indonesia pastilah menjungjung tinggi bahasa persatuan kita. Untuk mendukung usaha serius ini, pemerintah dan DPR perlu segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang tentang Kebahasaan yang dibuat tahun lalu.***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: