"KENAPA aku tidak bisa seperti mereka?"
"Karena kau adalah perempuan!" cetus bunda dengan cibiran khas.
***
Jatuhan uap air yang telah jenuh di awal Maret kembali membasahi sekujur tubuh negeri. Semua yang menganga akan segera dipenuhinya lalu menyebar hingga ke lapisan paling luas ditiap jengkal. Tak terkecuali tempat dimana aku dan bunda berdiri. Sore itu kembali aku menegakkan tiang-tiang, menyambung tiap pangkalnya dan menutup bagian atas dengan tenda plastik berwarna biru. Setelah semua tepat pada posisi masing-masing, kini giliran yang lain membersihkan jalanan aspal dari genangan air dan melapisi dengan karpet plastik bermotif bunga merah.
Sore masih menunjukkan kesetiaan bagi para awan bersama sapuan jingga yang terus berpendar di barat. Beberapa anak berjaket kulit tampak nongkrong di parkiran, sesekali dari mulut mereka terlempar godaan ketika sebentuk tubuh dengan sesuatu terbuka dipusar melintas diantara dua pohon beringin.
"Ayo tata semua meja!" pinta bunda yang telah mem-formatku jadi sebentuk manusia cantik. Imajiku hancur bersama siulan dan ratapan.
Dari kecil aku telah ikut bersama bunda melewati tiap putaran waktu dengan penuh kehangatan. Aku hanya mengenal Ayah lewat kata, tidak seperti mereka yang begitu gembira ketika bercerita tentang apa pekerjaan ayah, berapa hektar tanah ayah, berapa banyak obligasi ayah, berapa banyak uang saku yang tiap hari mereka terima dari Ayah. Dan setiap kulontarkan pertanyaan bertemakan ayah, Bunda selalu diam dan tak mau menatapku dalam-dalam seperti kebiasanya selama ini.
"Kata guru, besok semua orang tua siswa datang ada rapat. Kata guru, kalau bisa Ayah yang datang!".
"Kalau bisa!" tegas bunda padaku. Sejak saat itu setiap ada pertemuan siswa bunda enggan untuk datang.
Dua puluh tahun lamanya aku hidup dalam imaji 'Ayah' tanpa kukenal bentuk laki-laki yang telah berjuang bersama bunda membuatku ayu seperti ini.
"Ayah...Ayah..Ayah!" Separuh hidupku hanya bisa memahat kata itu pada tiap lembaran waktu. Kata temanku Bahri, ia punya seorang laki-laki yang kerap dipanggilnya dengan nama Ayah. Ia bersama laki-laki itu setiap pagi minggu pergi memancing di kolam pinggiran, begitu juga dengan Mahessa yang ditiap paginya selalu diantar oleh laki-laki yang ia sapa dengan Bapak dengan jas dan mobil ACnya. Tapi kalau memang Ayah adalah sosok yang diperlukan kenapa bunda tak pernah menampakkannya padaku.
Sejak aku mengenal baca tulis, baru kusadari ada yang kurang pada hari-hari. Pagi yang kulihat hanya sebuah figura tua dengan gambar sesosok laki-laki berpeci. Ketika sarapan, di meja makan yang kutemukan hanya sosok bunda dengan wajah terbalut kain panjang. Dan tatkala malam datang dengan dongeng yang kerap memadati ruang di telinga. Di dini hari, mimpi pun tersadar. Tak ada semua bayang tentang keindahan hari. Ketika saat itulah bunda hadir dengan dendang yang begitu aku rindukan hingga aku tumbuh jadi sebentuk mahkluk cantik.
"Yah, mahkluk cantik yang selalu menjadi kebanggan bunda"
Hari ini untuk sekian kalinya sebuah lilin tertancap ditengah kerutan hati. "Kata mereka aku cantik Ayah, tapi kau tak pernah melihatku dua puluh tahun ini. Apa karna aku cantik?" batin terus berimaji dengan kata-kata Ayah.
Mungkin harusnya aku lebih baik tidak mencicipi kenikmatan ruh yang telah ditiupkan pada wujudku di janin. Walau pada akhirnya aku besar dengan cantik dibawah lindungan bunda. Tapi, cantik tak membuatku menjadi bebas. Semua orang begitu sering menatap kemolekan tubuh dan parasku. "Karena kau begitu cantik!" ujar Mahessa dengan lantang.
"Aku cantik?" tanyaku setengah tak percaya. "Tapi aku tak mau jadi cantik.".
"Hai,..ingat banyak diantara mereka disana yang ingin sepertimu tapi apa. Mereka tak bisa!" sekali lagi Mahessa dengan kerasnya menatapku.
Kupandangi wujud muka. Pada pantulan di cermin powder lipat, dan tepat dihadapan kutemukan wajah yang enggan untuk ditatap lama-lama. Barangkali semua orang telah kehilangan citra penglihatan, sehingga si buruk rupa menjadi tuan putri di hadapan kornea mereka.
"Tidak, aku tidak cantik. Dan aku tidak mau menjadi cantik!" batinku berontak. "Tapi kau begitu cantik diantara mereka"
"Em, apa iya aku cantik?".
"Ada tamu, cepat kesana!" sekali lagi bunda menghancurkan imaji.
Sepanjang temaram bulan aku bermandi peluh di dingin separuh hari.
***
Matahari kembali mencibirkan ruh paginya, sedang diri hanya bisa bersembunyi dibalik selimut tambalan Bunda. "Lelah menjadi cantik."
Ingin kucabik-cabik saja sinar yang jatuh tepat di pinggiran meja rias. "Sudah pagi!"
"Iya, aku tahu, kalau matahari datang dengan cahaya keemasannya itu berarti telah pagi. Tanpa diberi tahu, aku telah mengerti!"
Aku paling tidak suka bangun di pagi hari. Bagiku cahaya matahari justru menghilangkan selera menjadi manusia. Bagaimana tidak, ketika malam banyak diantara mereka yang mengatakan aku cantik. Padahal mereka melihat dengan pantulan cahaya bulan. Nah bagaimana bila pagi? pasti mereka bisa dengan sangat jelasnya melihat diriku.
Aku tahu kulitku tak seputih susu, wajah pun tak semulus porselen Cina. Sesuatu yang ada di dadaku tak sehebat Pamela Anderson, Pokoknya semua yang ada padaku serba cukup. Cukup membuat mereka membulatkan biji mata dan meneteskan liur.
"Uhsss...!"
Segelas susu panas kembali terhidang di bola mataku. "Bunda memang baik, dan mungkin begitulah semua perempuan"
Perempuan ataupun mahkluk bernama wanita itu sangat simpatik, sungguh menyenangkan, dan juga tidak egois. Dia pandai dalam seni kesulitan hidup berkeluarga. Dia mengorbankan dirinya setiap hari. Kalau tersedia daging ayam, dia makan bagian kakinya. Jika ada kesengsaraan, dia duduk didalamnya-pendek kata dia terbentuk seperti itu hingga tak punya pikiran atau keinginan sendiri, tapi memilih untuk selalu bersimpati dengan pemikiran dan keinginan-keinginan orang lain.(1)
Kutarik selimut, kudekap erat guling yang telah berlumuran bercak yang tak jelas. Kurasakan kenikmatan permainan pagi.
"Kau sudah bangun rupanya?"
"Iya." jawabku pendek. "Nanti ada tante Inakmu datang!" balas bunda sembari mengusap rambutku yang tak terlalu panjang.
"Uhsss...!" Aku begitu tidak bersemangat kalau tante Inak yang datang. Dia akan langsung menghujamku dengan rentetan kalimat tidak mengenakan tatkala ia tahu kalau aku masih mengenakan celana diatas lutut, pakaian tanpa lengan, merah-merah pipi ataupun pewarna bibir. "Kalau hanya antingan aku setuju saja, tapi..!" celoteh tante Inak tiga minggu yang salalu sebelum aku memutuskan untuk meninggalkan dinas malam.
Aku tidak mengatahui kenapa ia tidak suka melihatku begitu. Padahal dengan seperti itu aku kelihatan begitu cantik, "Kata teman-teman."
Aku rimbun dalam nafas hidup yang dinaungi trauma. Aku begitu malas untuk mengubah semua yang telah terbentuk. Walau aku tahu ini salah bagi sebagian kaum.
"Kenapa aku tidak bisa seperti mereka?"
“Berjalan tegap dengan seorang perempuan disisi kiriku. Aku rindu saat itu datang."
"Karena kau cantik, dan cantik adalah perempuan" suara itu datang mengejutkanku. Sepertinya ia selalu tahu saat diri kehilangan keyakinan. Hanya penggelan kalimat itu yang selalu menguatkan hari-hariku.
"Kau sama saja seperti ibumu, perempuan kuat dengan segala kegelisahan"
***
Siang semakin dewasa bersama sorak-sorai anak sekolah yang baru menanggalkan rutinitas rumus fisika ataupun hafalan sosiologi. Diantara mereka dari jendela depan rumah tampak laki-laki sebaya denganku, ia begitu dewasa mengawal anak-anak meninggalkan pagar gedung yang dulu membuatku mengerti tulisan. Lelaki itu tak banyak berubah dari pertama aku menyisahkan sedikit pandangan tatkala musim sekolah ramai. Beda denganku, dimana aku tampil lebih cantik. Padahal aku dan dia 'sama'.
Setengah perjalanan jarum dinding aku larut dalam khayalan, menikmati imaji kosong. Membiarkan otak lepas dari kepala dan meletakkanya pada pinggiran jendela depan, untuk beberapa saat kemudian aku tersadar bahwa isi kepala sudah digerayangi lalat.
"Bunda, aku capai menjadi cantik karena kebebasanku terbelenggu, terkunci dalam sangkar yang tak jelas."
Pada detik berikutnya, satu demi satu semua yang ada padaku terlepas. Mula-mula pemberat telinga yang sepanjang malam menggelayut kini menyisakan lubang. Penyangga dada yang selama putaran hari meletak tak jelas fungsinya mulai kehilangan selera denganku. Pewarna bibir yang merupakan simbol ekstotis sisi perempuanku memudar. Hingga pada seperempat langkah jarum pendek akhir semuanya benar-benar lepas.
"Aku tak mau lagi bertemu dengan engkau bulan, karena rayuanmu begitu mempesonaku untuk menjadi cantik."
Banten - Kelapa Gading - Lemabang, Pebruari-Maret 2006
ket:
1) Salah satu tulisan dalam esainya "A Room for One's Own" karya Virginia Woolf.
0 komentar:
Posting Komentar