Sampah dan Sistem yang Kompleks

Sumber: Kompas, edisi Jumat, 28 Maret 2008 | 00:53 WIB

Nawa Tunggal

Tidak semestinya sampah plastik, kaleng, gabus, kertas, kain, dan sebagainya turut hanyut ke kali. Sumber penghasil sampah itulah yang seharusnya mau bertanggung jawab dan melakukan ”3R” (reduce, reuse, recycle) barang bekas pakai.

Konsumen sampo, misalnya, semestinya bisa mengembalikan botol atau sachet-nya kepada produsen (pabrik) setelah sampo habis. Konsumen mi instan semestinya bisa mengembalikan plastik kemasannya kepada perusahaan mi instan.

”Mengembalikan” di sini berarti melibatkan perantara, pemulung misalnya. Para pemulung menjadi bagian dari produsen untuk mengumpulkan sisa-sisa produksinya.

Di tingkat rumah tangga, keaktifan memilah sampah diperlukan. Mengurangi volume sampah bisa dilakukan dengan mengubah sampah organik menjadi kompos.

Manajemen menyeluruh

Ketua Umum Asosiasi Persampahan Indonesia (Indonesia Solid Waste Association/ InSWA) Sri Bebassari, Kamis (27/3), mengatakan, manajemen sampah sesungguhnya tidak sesederhana hanya memilah dan mengomposkan sampah organik.

Selama ini masyarakat lapis terbawah selalu mendapat stigma sebagai tukang buang sampah sembarangan, dinilai malas mengelola sampah. Sampah dituding sebagai penyebab banjir dan penyakit. Sedangkan perusahaan penghasil sampah sebagai penyumbat drainase atau sungai tidak pernah dipersalahkan.

Menurut Bebassari, manajemen sampah butuh kebijakan top down (atas ke bawah) dari pemerintah, berbicara tentang sistem keseluruhan. Misalnya untuk pemilahan sampah di rumah tangga, harus tersedia truk untuk sampah terpilah. ”Ada lima aspek yang harus dipenuhi untuk mewujudkan sebuah manajemen sampah,” kata Bebassari yang juga menjadi Solid Waste Management Specialist pada Bank Dunia.

Aspek pertama adalah payung hukum. Sejak lima tahun silam, Bebassari mengusulkan kepada lembaga eksekutif dan legislatif supaya mengkaji dan menetapkan undang-undang yang mengatur khusus soal penanganan sampah. Saat ini sudah ada Rancangan Undang-Undang Sampah. Diharapkan UU Sampah bisa ditetapkan dua bulan lagi.

”Singapura memiliki UU Sampah lebih dulu, namun keberhasilan manajemen sampahnya terjadi setelah 30 tahun UU itu ditetapkan,” katanya.

Aspek kedua: unsur kelembagaan. Manajemen sampah tidak bisa hanya melibatkan satu departemen atau kementerian. Di Jepang, katanya, hal itu melibatkan 16 kementerian.

Aspek ketiga, unsur pendanaan. Alokasi dana pengelolaan sampah harus ada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/APBD). Masyarakat harus tahu berapa besar uang untuk jasa kebersihan.

Yang keempat, aspek peran serta produser barang atas sisa-sisa produksi yang tidak dipakai konsumen.

”Sumber penghasil sampah pertama atau para produsen barang itu yang harus memulai ’3R’ sebagai bagian dari pengembangan program pertanggungjawaban korporat kepada masyarakat (corporate social responsibility),” kata Sri Bebassari.

Pengejawantahan ”3R” dapat beragam. Misalnya, untuk fungsi reduce—mengurangi sampah tas plastik untuk barang belanjaan, supermarket mewajibkan pelanggannya menggunakan tas jinjing sendiri agar bisa dipakai berulang. Itu sekaligus menjalankan fungsi reuse atau pemanfaatan kembali tas belanjaan.

Selama ini sering dijumpai, justru sebagian ibu yang berbelanja berharap mendapatkan tas plastik yang banyak—untuk menampung sampah di rumah. Fungsi ketiga, recycle atau daur ulang, dilakukan dengan mengganti tas plastik dengan tas kertas.

Aspek kelima: teknologi. ”Banyak pilihan teknologi pengolahan sampah. Di Singapura, ada empat pengolahan sampah teknologi insinerator tidak menimbulkan polusi udara dan fasilitas gedungnya mirip mal,” katanya.

Paparan Sri Bebassari jauh dari kenyataan. Tetapi, itulah tantangan sekarang untuk mendorong terwujudnya manajemen sampah sebagai sistem yang melibatkan banyak sektor.

Persiapan ke ideal

Di wilayah DKI Jakarta sebagai ibu kota negara, seperti dituturkan Kepala Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah DKI Jakarta Budi Rama, belum juga ada manajemen sampah yang ideal.

Budi Rama mencontohkan, dari sekian banyak mal juga belum ada yang mewajibkan pelanggan membawa tas belanja sendiri atau mengganti tas plastik dengan tas kertas.

”Upaya menuju manajemen sampah secara ideal baru pada tahap persiapan, agar masyarakat sendiri yang menetapkan ketentuannya. Jangan sampai peraturan dibuat, ternyata kemudian saat diterapkan tidak sesuai kebutuhan,” kata Budi.

Menurut dia, secara ideal mestinya para produsen barang turut bertanggung jawab terhadap sisa produksi yang ada di tangan konsumen. Saat ini pemulung dan pemilik lapak yang menjadi pengepul barang bekas dianggap sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas sisa-sisa produksi itu.

Sampai-sampai, untuk persoalan distribusi barang bekas, para pemilik lapak disyaratkan memiliki hasil analisis mengenai dampak lingkungan (amdal). Amdal itu sebagai dasar untuk memperlancar distribusi barang bekas ke distributor lebih besar.

Jadi, masih banyak perangkat sistem yang harus diwujudkan untuk membentuk manajemen sampah secara ideal. Tetapi, setidaknya memilah sampah sebagai langkah dasar tetap harus diwujudkan untuk menunjang kemudahan kerja para pemulung. Dan jangan lupa juga: hasil dari sampah organik..., kompos.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: