Coklat di Negeri Pasir
(Koko P Bhairawa)
DAHULU kami hidup dengan te-nang, sampai pada suatu ketika bapak kehilangan tanah – tempat dimana beliau selalu mencangkuli permukaan humusnya. Dulunya di pagi Minggu, aku, bapak, emak dan adik Tyo acapkali pergi ke ladang di belakang rumah yang jaraknya tak lebih dari lima ratus meter saja. Konon tanah itu tidak ada yang tahu siapa empunyanya. Bahkan sejak kami belum datang dan menetap, para tetangga sudah ada yang membuka lahan di sana. Jadi bapak pun berinisiatif untuk ikut berladang. Walaupun sekadar menanami ladang dengan tiga puluh sampai empat puluh rumpun Sahang saja, ditambah lagi dengan beberapa batang tomat, cabe dan tanaman kacang-kacangan.
”Lumayan untuk menambah bumbu dapur,” kata Bapak ketika memulai berladang dulu.
Setiba di ladang, biasanya aku tidak langsung membantu Bapak menyiangi rumput ataupun memetik buah tomat yang telah ranum dan cabe-cabe yang begitu memerah. Kebiasaanku setiba di ladang selalu menghampiri sebuah kolam terlebih dahulu. Oleh warga di kampung kolam itu lebih dikenal dengan sebutan kolong. Di kolong aku akan memasang beberapa rawai di sudut-sudut yang telah kukenali sebagai markas para ikan.
Kolong bagi warga bukan sekedar kolam yang ditinggalkan akibat dari penambangan timah darat puluhan tahun silam. Dari kolong juga kami memperoleh sumber air – tempat kami mandi dan mencuci pakaian. Bahkan kerabat kami di barat kampung, telah memanfaatkan kolong menjadi tempat pembudidayaan ikan dengan menggunakan jaring apung. Hasilnya pun cukup untuk dinikmati warga kampung dan dijual di pasar inpres.
Kolong yang jumlahnya lebih dari seratus - bukan hanya menjadi lukisan indah di tanah negeriku. Betapa tidak, ketika bapak kelelahan habis mencangkul. Kolong adalah sasaran tubuh kekarnya untuk sekedar berendam dan membersihkan keringat.
Tanah negeriku sebenarnya tidak bisa merubah tongkat menjadi tanaman, tidak juga kayu ataupun batu. Namun, tanah negeriku bisa mendatangkan sepiring nasi dan pakaian bagus bagi sebagian penghuninya. Bahkan alat komunikasi secanggih ponsel pun bisa didatangkan oleh tanah. Lantaran kehebatan itulah, sekelompok manusia menjadi gila untuk terus memburu tanah ke setiap hamparan negeri yang sebenarnya telah lama ditinggalkan peri-peri dongeng pulau timah.
Aku menjadi aneh saja, lantaran orang-orang aneh itu dengan gagah dan tanpa bersalahnya nebang utan adet. Padahal sejak dulu, aku mendengar dari cerita Atuk Jum yang menjadi pemangku adat suku Pacor, dimana adat telah mengajarkan untuk tidak melakukan perbuatan yang akan bermuara pada bencana bagi warga kampung.
”Nebang Utan Adet, pasti akan membuat murka penguasa tanah aeik. Bila itu terjadi kita akan mendapat wabah penyakit ataupun bencana”. jelas Atuk Jum. Aku terdiam sesaat lalu kulontarkan pertanyaan yang barangkali akan dijawab Atuk.
”Tapi kok kita semua yang akan menderita?”
”Iya Cuk, penguasa tanah aeik tidak akan memilih siapa yang layak menerima bencana dan siapa yang tidak. Semuanya sama saja karena dianggap telah lalai menjaga tanah. Akan tetapi kita bisa menghentikan kemurkahan itu.” Dengan senyum diantara wajah keriputnya, lelaki yang telah berusia tujuh puluhan itu menatapku dalam.
”Benar ya, tuk?” tanyaku penasaran.
“Benar. Untuk itu kita mesti mengadakan ceriak yang semua bianyanya ditanggung oleh warga. Apabila setelah diadakan ceriak ternyata bencana masih datang juga. Kita harus mengadakan upacara rateb saman.” Aku kembali terdiam bersama Atuk yang mulai menggiling tembakau di kertas rokok.
Kegilaan orang-orang aneh itu, cukup beralasan. Setahuku memang setiap jengkal tanah di negeriku begitu bernilai. Butiran pasir hitam yang tidak lain adalah timah, merupakan sumber nafkah utama mereka. Tak heran bila demi mengisi perut, maka perut negeri pun terpaksa dikuras dan terus dikuras. Hingga humus di atasnya berganti hamparan pasir. Bila butir hitam ditanah itu telah habis, dengan santainya mereka menyelipkan puluhan uang ratusan ribu ke saku orang-orang aneh lainnya di ibu kota. Setelah semuanya tenang, mereka akan kembali menjalankan mesin pompa yang menyedot pasir dari kolong kolam di tanah berhumus lainnya. Hingga pada suatu saat – di suatu siang mesin itupun singgah di tempat Bapak biasa mencangkul.
Dengan keperkasaanya mesin pompa menyemburkan pasir yang sebelumnya melewati pipa paralon. Pasir-pasir itu kemudian tertampung di dalam bak kayu. Dengan menggunakan batang kayu, satu dari sekelompok orang aneh itu memisahkan butiran hitam dari kubangan. Kini rumpun sahang ataupun merahnya cabe mulai berganti warna. Bapak yang melihat tanah cangkulannya teraniaya hanya bisa terdiam. Tak ada yang bisa dilakukan bapak ataupun orang-orang yang membuka ladang disana. Tak ada tuntutan ataupun berkas acara, karena tanah dimana kami meladang selama ini hanyalah tanah tanpa bertuan dan apabila ada pihak lain yang datang dengan kertas bersegel, kami hanya bisa diam dan meratapi dalam hati.
”Cukuplah, semuanya kita kembalikan kepada Allah!” begitulah Bapak bersuara sembari membalikan tubuh dan tidak pernah berniat melihat ke belakang lagi.
Lelaki bertubuh jangkung, dengan kulit sawo matang itu terus berjalan. Sesosok tubuh mungil yang tak lain adik Tyo mengikuti bapak dari belakang. Dari tatapan mata Tyo kulihat kebencian pada mesin dan pipa-pipa paralon yang memanjang memagari ladang yang kini berubah fungsi. Dikeluarga kami, bapak tak pernah mengajarkan kebencian pada sesama manusia. Alhasil wajar bila kemudian Tyo pun melampiaskan kebenciaanya pada dua benda mati tersebut.
”Bang, kenapa mesin dan pipa diciptakan?” tanya Tyo sekembaliku kerumah.
Belum mulut ini mau menjawab, satu pertanyaan kembali dilemparkan Tyo, ”Emangnya mesin dan pipa-pipa itu diciptakan untuk merusak tanah seperti yang Tyo lihat tadi yah?”.
Aku sebagai abangnya, terdiam menyaksikan parade kata-kata yang dimainkan oleh seorang anak yang baru tahu mengeja huruf dan menghitung dari satu sampai seratus itu.
”Tyo, mari sini belajar dulu!” panggil emak kemudian.
Pertanyaan Tyo benar-benar membuatku semakin tak mengerti tentang jalan pikiran sekelompok orang aneh itu. Dari balik kaca jendela kamar, kulihat tiang-tiang kayu yang ditancapkan sebagai penyanggah bak papan pemisah pasir timah.
***
DUA hari sudah sekelompok orang aneh itu membabat habis ladang-ladang kami. Mulai dari rumpun sahang, merah cabe, tomat, bijur ataupun pucuk ubi mulai menghilang dari ruang di bola mata kami. Bahkan nyanyian Murai Batu yang setiap paginya menyejukkan gendang telinga, kini berganti dengan suara gemuruh mesin tambang. Parahnya lagi mesin itu terus aktif sampai malam.
Pagi Minggu ini, tidak seperti biasanya. Bapak tampak malas-malasan sembari membaca koran di teras rumah bersama secangkir kopi buatan emak. Di ruang tengah kulihat dengan jelas Emak sedang menambal celana main Tyo yang telah berlubang dibelakangnya. Sedang Tyo asyik menonton film Doraemon dengan berselimut sarung bekas khitananku dulu. Pagi Minggu ini benar-benar aneh. Aku kemudian berjalan menuju gudang, kupandangi perlengkapan rawai disudut, ia tergelatak begitu saja – tidak seperti hari Minggu-minggu sebelumnya yang selalu mengiringi pagi kami yang akan berladang di tanah belakang.
Jam menunjukkan pukul setengah sembilan, kuambil rawai dan perlengkapan berladang lainnya. Aku kemudian menapakkan langkah melewati rimbun dan hijaunya batang resam. Tujuan akhirku adalah kolong dibelakang ladang. Tetapi sebelum sampai di tempat itu aku mesti menyeberangi jembatan parit yang terbuat dari kayu pelawan dulu. Setiba di tanah yang dulunya kukenali sebagai tempat rumpun Sahang, tak banyak yang bisa dinikmati mataku, kecuali hamparan padang pasir yang meluas hingga ke ladang mang Darkum, mang Umar, mang Suep dan mang Didin.
”Selamat tinggal keindahan hijau rumpun sahang!” batinku berkata.
Hamparan padang pasir itu nampak kosong, tak ada penghuni lain kecuali diriku dan pipa-pipa paralon. Maklumlah di hari Minggu, orang-orang aneh biasanya libur menambang dan mereka pergi ke pasar untuk menghabiskan uang yang didapatkan dari membalikkan humus menjadi pasir. Aku kembali berjalan menuju kolong, tak berapa lama yang kutemukan justru kubangan cokelat dengan sisa minyak solar dipermukaannya. Sejenak kulemparkan pandangan ke seluruh penjuru. ”Tak ada kolam lain!” gerutuku dalam.
Mataku terus mencari kolam berair jernih – ditumbuhi teratai putih serta rumpun-rumpun hijau tanaman air dan beberapa komunitas enceng gondok yang tertata rapi di sudut kanan kolam. Namun sampai lima menit lamanya, kolam yang oleh anak-anak kampung dinamai dengan kolong ijo tak kutemukan. ”Mungkin tak akan pernah bisa kutemukan lagi.” Walau demikian, aku masih saja memasang rawai seperti biasanya, disebagian utara dan sebagian barat yang masih menampakkan kegairahan para ikan untuk bercanda. Memang kolong ijo sudah tampak berwarna kecokelatan tapi masih ada disebagian tubuhnya belum terkontaminasi sisa-sisa minyak solar mesin.
Begitulah nasib kolong di negeri ini, bila tanah disekitarnya telah berganti fungsi, maka dirinya pun ikut mendapatkan sentuhan. Cokelat di kolong ijo, merupakan hasil make over dari orang-orang aneh. Dengan gagahnya mereka mengalirkan limbah penambangan dari camui ke tempat yang lebih besar lagi, dan kolong ijo menjadi pilihan mereka.
Matahari telah tepat diatas ubun-ubunku, sayup-sayup alunan azan mulai menghampiri indera pendengaran. Setelah semuanya rawai selesai – pada posisinya masing-masing, aku kembali kerumah. Kembali kulewati jalan yang sama, namun dari kejauhan terlihat ramai orang mendatangi rumahku. Langkah kaki tanpa dikomando langsung bergerak cepat.
”Ada apa?” tanyaku ngos-ngosan.
“Adikmu, kena tulah dari penguasa tanah aeik” jawab Atuk Jum singkat.
“Haaaa?” aku tersudut lemas di pinggiran bufet. Kuperhatikan sekujur tubuh Tyo telah ditumbuhi bintik-bintik besar berwarna merah. Bapak dan emak terus berzikir, sementara Atuk Jum terus mengusap rambut Tyo dengan air dari gelas ditangannya. Aku tak habis pikir, tadi pagi Tyo masih sehat-sehat saja, bahkan dengan asyiknya menyaksikan tontonan favoritnya.
”Sepertinya penguasa tanah aeik telah murka!” kata Atuk memecah keheningan.
”Kok bisa?” tanyaku polos.
”Iya, penguasa tanah aeik marah lantaran ada yang berani mengusik wilayah utan adet. Tanah dimana bapakmu dan orang-orang kampung lainnya berladang, dulunya merupakan wilayah utan adet suku Pacor. Akan tetapi karena selama ini terus kalian jaga dengan menanami rumpun Sahang, maka terjagalah keseimbangan antar dunia. Tapi sekarang semua telah berubah, tidak ada lagi tanah humus dan rumpun sahang” jelas Atuk. Aku belum terlalu mengerti apa yang dibicarakan atuk, ”Keseimbangan antar dunia, apa maksudnya”
”Lalu apa yang harus kita lakukan agar tidak kena tulah dari penguasa tanah aeik lagi?” tanya mang Darkum kemudian.
”Seperti aturan adat, kita mesti mengadakan ceriak. Apabila setelah diadakan ceriak ternyata bencana masih datang juga. Kita harus mengadakan upacara rateb saman”
”Ceriak?”
”Ya benar ceriak!” sambut kakek-kakek disebelahku.
”Tetapi sebelum kita mengadakan ceriak, kita bakar saja tambang dibelakang yang telah menjadi awal kemarahan penguasa tanah aeik!” Mang Darkum kembali bersuara.
”Iya, kita bakar saja” sambut yang lainya sembari menganggukan kepala.
”Jangan, kita berbuat seperti itu” suara berat bapak mencairkan suasana. Orang-orang kampung yang tadinya telah naik pitam, kini kembali reda. Mereka kemudian mendengarkan perkataan Atuk. Menjelang Ashar, mereka semuanya meninggalkan rumahku.
Kini tinggallah aku, bapak dan emak yang terus menjaga Tyo. Bagi kampung kami, antara adat dan agama adalah dua sisi yang saling berdampingan, melayu islam yang menjadi pegangan orang-orang kampung tidak bisa dilepaskan dengan aturan adat. Oleh karenanya aturan adat tetaplah aturan adat yang mau tidak mau harus kami jalankan.
Kudekati tubuh Tyo yang sudah dipindahkan dari ruang depan kekamar emak, suhu bahannya sudah tidak tinggi lagi seperti pertama kudatang, bercak merah ditubuhnya pun sudah semakin mengecil. ”Itu tandanya tulah telah hilang dari tubuh adikmu.” bapak mendekatiku yang duduk dipinggiran dipan. Baju Tyo yang kubuka segera kurapikan kembali. Melihat Tyo tak berdaya akibat ulah orang-orang aneh yang membawa murka penguasa tanah aeik, emosi benar-benar tak bisa tertahan lagi. Napasku begitu cepat, degup jantung memompa darah cepat. Bapak yang memperhatikan sedari tadi langsung merangkul tubuhku yang kurus dengan tangan-tangan kekarnya.
”Sudahlah jangan kau pikirkan!” ujar bapak kemudian.
Aku hanya mengiyakan, lalu aku bergegas keluar menuju pintu belakang, emak yang melihatku segera memanggil.
”Mau kemana?”
”Ke kolong sebentar” jawabku.
Aku memang berniat mendatangi lokasi penambangan itu, dan aku ingin sekali berulah. Tetapi setiba di tanah berpasir. Hamparan padang itu, kini tampak lebih ramai dengan telapak-telapak kaki yang membekas di pasir, bersama lenyapnya pipa-pipa paralon dan peralatan tambang lainnya. Tak ada tiang-tiang tinggi penyanggah yang menjulang karena tiang itu kini telah ditidurkan ditanah tak berhumus, ”Tapi kapan yah?”. Tak habis-habisnya kupandangi sekeliling, tak ada seorang manusiapun kecuali diriku disana.
Kornea mataku terus memandangi sekeliling. ”Tanah berpasir dan kubangan coklat di kolong, yah hanya itu yang ditinggalkan orang-orang aneh. Entah kemana lagi mereka setelah dari sini?” aku terduduk memandangi negeriku yang tak lagi bertanah humus – berdaun hijau dan berair jernih.***
Bangka, 3 Oktober 2005
Keterangan :
rumpun sahang = sebutan untuk tanaman Lada * menyiangi = memotong * kolong = lubang eks galian penambangan timah darat yang menyerupai danau * rawai = salah satu metode pemancingan ikan dengan meninggalkan pancing selama beberapa jam (biasanya lebih dari 4 jam) * nebang utan adet = menebang hutan dalam kawasan adat suatu suku * atuk = kakek * suku pancor = suku ini berada di kampung Pelagas, Simpang Gong, Simpang Tiga, Kundi, Simpang Teritip sebagian dan Peradong sebagian. Yang termasuk dalam wilayah Bangka Barat * penguasa tanah aeik = penguasa suatu tempat * cuk = cucu * ceriak = upacara adat yang bertujuan membersihkan kampung dari bencana * singgah = mengunjungi * bang/abang = panggilan untuk kakak laki-laki * bijur = ketela rambat * resam = sejenis tanaman perdu, biasanya isi batang resam dijadikan bahan pembuat kopiah (peci) * camui = lubang pembuangan limbah penambangan rakyat. * tulah = ganjaran * buffet = lemari pajangan * dipan = tempat tidur
0 komentar:
Posting Komentar