Bukti Totalitas Film

Ayat-ayat Cinta (AAC):

Bukti Totalitas Film

KEKUATAN cinta dan keteguhan hati benar-benar menjadi amunisi terbesar dalam menghadapi setiap permasalahan yang ada. Mungkin itulah sebuah gambaran yang setidaknya diperoleh ketika kedua bola mata ini berkesempatan menyaksikan premier (pemutaran perdana) film Ayat-ayat Cinta (AAC) di XXI Plaza Senayan, Senin (18/02) yang lalu.

Hampir sepanjang 120 menit, tutur ini pun tak henti-hentinya melafazkan kebesaran Allah SWT. Inilah bukti dan jawaban atas kekeringan jiwa yang dahaga akan sajian hiburan yang tidak sekadar mengumbar kata cinta (semu), ataupun menjual mistik (horor) yang justru membuat jiwa semakin gelisah.

Dua bulan sejak berita tentang penayangan perdana film ini beredar sekitar akhir tahun 2007 yang lalu begitu ramai dibincangkan. Media cetak, elektronik bahkan tulisan-tulisan di blog begitu penuh menanti dan menanti film yang (konon) bisa menandingi film-film sebelumnya (Gie, Ada Apa dengan Cinta, ataupun film-film dengan jumlah penonton diatas rata-rata seratus ribu), dan akhirnya Ayat-ayat Cinta sebuah film yang diangkat dari karya paling fenomenal Habiburrahman El Shirasy dengan judul yang sama berhasil hadir ditengah-tengah masyarakat Indonesia.

Hanung Bramantyo adalah sosok yang berhasil mengadirkan rangkaian kalimat demi kalimat, halaman demi halaman dalam bentuk citra audio visual yang ringan dan menarik untuk disaksikan. Jika ada yang mengatakan atau menyangsikan bahwa film yang diangkat dari novel akan menjadi karya yang bagus, dan kali ini pernyataan itu berhasil dipatahkan oleh Hanung selaku sutradara.

Film bisa diibaratkan sebuah paket, dan AAC adalah paket “Total” film Indonesia. AAC telah berhasil menjadi paket yang siap dan akan menghebohkan pasar film bukan hanya di Indonesia bahkan sangat mungkin di kancah internasional. Mungkin pernyataan ini terlalu dini, tetapi jika dikaji dan ditelusuri secara seksama. Wajar saja jika film di bawah naungan MD Entertainment ini layak masuk dalam jajaran film terbaik yang dimiliki negeri ini.

Fenomenal novel AAC merupakan kekuatan untuk menjadikan film ini besar, namun garapan Hanung tidak lantas menjadikan film hambar yang sekadar memenuhi tuntutan produser ataupun pasar film Indonesia saat ini. Islam yang menjadi nadi di film mampu hadir, tidak hanya bentuk visual semata tetapi begitu kuat dengan setting, alur dan lakon yang dimainkan oleh para pemeran tetap terjaga.

Bukti “Totalitas”

Menyadari tidak mudah menggarap film yang diangkat dari novel fenomenal, sepertinya Hanung memaksimalkan kemampuan dalam film AAC. Ada yang menarik, dalam sebuah catatan “Kisah Di Balik Produksi Ayat-ayat Cinta” yang diposting Hanung di blognya menjadikan saya semakin sadar dan semakin mengerti setiap kegelisahan dan rintangan yang dihadapi dalam pembuatan film ini. Namun, dengan keteguhan hati dan kekuatan cinta menjadikan Hanung bangkit dan terus bangkit dari tiap jatuhnya.

Saya hafal betul tulisan Hanung yang menjadikan ia kuat menyelesaikan film ini. “Kalau kamu sudah bisa membuat film. Buatlah film tentang agamamu.” Begitulah kata yang ternyata hadir dari tutur seorang ibu, dan justru dengan kalimat ini pula yang membuat kalimat-kalimat milik Habiburrahman El Shirasy dalam novelnya AAC berhasil diterjemahkan oleh Hanung (tentunya sudah dengan perubahan disana-sini) hingga hadir di layar lebar di bioskop-bioskop penjuru tanah air.

Layaknya sebuah pekerjaan maka, film ini tetap tidak lepas dari catatan. Seperti yang dituturkan oleh Hanung dalam blognya bahwa Kairo adalah kota dimana manusia-manusia Fahri, Aisha, Maria, Noura, Nurul dan manusia lainnya hasil karangan Habiburrahman El Shirasy (kang Abik) hidup, saling bercerita dan saling mencinta. Sebaik apa pun hasil garapan set diciptakan di Jakarta dan Semarang, tetap sulit untuk menandingi keindahan Kairo dalam sudut pandang novel AAC.

Sudut-sudut pasar El Khalili, jalanan di Down Town, Menara-menara masjid (Al Azhar dan University of Azhar Cairo), belum lagi bangunan tua khas tiga Dinasti (Firaun, Perancis dan Kesultanan), dan matahari terbit di antara pyramid, ataupun El Giza tetap menjadi milik kang Abik dalam novelnya. Film AAC hanya mampu sepertiga saja memotret lansekap keindahan kota Kairo sebagaimana tertulis dalam novel.

Akan tetapi dengan keterbatasan hingga harus mempersempit lokasi dan pengurangan peralatan pendukung yang kemudian berusaha memperkuat dramatik cerita daripada keindahan gambar. Sehingga para pemainlah yang menjadi kunci untuk mampu membawakan karakter yang diperankan.

Keberhasilan menyajikan Kairo di Jakarta dan Semarang adalah bukti semangat yang kuat untuk mempertahankan kehadiran film ini ditengah badai rintangan yang dating silih berganti dalam proses pembuatan. Setelah, kegagalan demi kegagalan untuk menciptakan setting sesungguhnya sesuai dengan gambaran novel (baca blog Hanung di http://hanungbramantyo.multiply.com). Tanpa mengurangi estetika Kairo ataupun latar cerita, hadirlah wujud-wujud lain di kedua kota itu yang lebih bisa dijangkau dengan pendanaan orang (produser) Indonesia. Lagi-lagi Hanung berhasil mencitrakan novel AAC dalam wujud setting Indonesia, maka hadirnya setting novel pada metro yang dibangun bangsa Prancis di stasiun Manggarai, perpustakaan Al Azhar dan ruang Talaqi masjid Al Azhar di Gedung Cipta Niaga Jakarta Kota. Flat Fahri, Flat Maria dan pasar El Khalili di kota lama dan Gedung Lawang Sewu Semarang. Bahkan gereja Imanuel Jakarta disulap menjadi ruang pengadilan Fahri.

Istilah film ‘berat’ pun sama sekali tidak muncul. Istilah film ‘berat’ mari sama-sama diartikan sebagai film yang butuh pemikiran ekstra untuk mencerna tiap detik yang berlalu, tetapi justru AAC menjadikan layak untuk dikonsumsi mulai dari usia remaja. Kata bosan dan akhirnya membuat penonton mengantuk pun tidak saya dengarkan dari rekan-rekan yang ikut menyaksikan premier ini. Adegan Talaqi yang ditakuti akan menciptakan reaksi bosan penonton justru menjadi salah satu unsur pembangun yang kuat dalam film ini, terlebih adegan saat perenungan Fahri dipenjara dan menemukan hakikat kesabaran dan keikhlasan dari sosok imajinatif, bergaya liar, bermuka buruk tetapi memiliki hati bersih dan suara yang sangat tajam melafazkan kebenaran. Adegan ini sebenarnya sebuah bentuk adaptasi Hanung yang sedikit banyak berbeda dengan novel. Pada novel dengan jelas digambarkan sosok penghuni penjara yang absurd (seorang professor agama bernama Abdul Rauf) yang justru kekuatan tercipta.

Garapan film yang lembut, indah, suci telah benar-benar hadir. Tak jarang dibeberapa scene AAC mampu membuat penonton meneteskan air mata, menghela nafas dan terkagum-kagum. Setidaknya itulah yang saya saksikan sendiri saat menyaksikan primier AAC. Ini menjadi bukti bahwa AAC benar-benar sebuah totalitas yang dibangun dengan kekuatan cinta dan hati.

Film ini pun telah memacu adrenaline tentang sebuah nilai komitmen atas dasar agama, kesetiaan, kerja keras, dan cinta. Film ini berhasil menghadirkan Islam dalam wajah yang lebih elegan dan eksotis, bersahaja, penuh dengan nilai-nilai perdamaian dan penghormatan yang tinggi terhadap perbedaan.

Sebuah film tidaklah bisa dikatakan berhasil jika tidak mampu untuk menyihir penontonya, dan layaknya alphabet, AAC telah berhasil menterjemahkan A hingga Z dengan baik. Pemilihan dan penentuan pemain benar-benar terjaga, hingga menguras air mata penonton manjadi bukti. Wajar jika ada yang tertarik kembali menyaksikan film AAC untuk kedua kalinya.

Sungguh tidak berlebihan jika diakhir tulisan ini saya mengatakan bahwa kesuksesan sudah di depan dan menanti film AAC. Semoga para sineas kembali lagi untuk mampu menghadirkan film-film bermutu layaknya AAC ditengah-tengah kita yang sedang dahaga akan film yang tidak hanya menjual cinta (semu) ataupun mistik semata.***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: