***
TIDAK akan pernah kulupa wajah lelaki itu. Sepasang matanya yang sipit, dengan gigi tak rata dan ompong, ditambah lagi rambut di kepala dan di sekitar wajah mulai berganti warna. Tapi senyum dan binar matanya tak pernah lepas setiap menyambut kedatanganku dan anak-anak kampung.
Atuk Jum begitulah kami me-manggilnya. Sosok yang selalu ber-semangat mengajari mengaji dan menulis Arab di tiap sore, bad’a Ashar di hari Senin, Rabu, dan Jumat.
Atuk telah sejak lama tinggal sendiri, di tengah hume pada sebuah teratak berdinding kulit kayu, bertiang tinggi dan beratap rumbia. Aku dan teman-teman menamainya dengan rumah panggung. Rumah atuk memiliki serambi bertingkat, bilah pertama dijadikan tempat menerima tamu dan bilah kedua merupakan tempat kami mengaji. Di sisi kanan dan kiri terdapat dua buah bilik, yang di atas lawang bilik diberi ornamen bermotif tumpal, sebuah lambang kesuburan pada kepercayaan tetua kampung.
Namun, lelaki itu paling tidak suka bila tempat tinggalnya disebut rumah. Bagi atuk, teratak adalah sebutan yang paling cocok.
“Sulai...Sulai, ini teratak bukan rumah. Kalau rumah itu seperti di ujung kampung deket perempatan kota, miliknya tuan Amir, toke sahang kite!”
“Iya, tuk” jawabku singkat, tapi apapun namanya bagi kami tempat tinggal atuk Jum sungguh mengasyikan.
Kami senang berlama-lama berada di teratak. Selain udaranya sejuk. Atuk pun selalu menyuguhi kami dengan bijur rebus atau buah keramunting yang hitam-manis. Sesekali kamipun diajaknya membakar jagung setelah selesai mengaji.
Aku pernah mendengar cerita dari Bapak, kalau atuk Jum adalah seseorang mualaf. Dulunya, atuk adalah anak dari saudagar kain sutera dari Cina. Waktu Jepang menguasai Indonesia, atuk dan orangtua serta kedua kakaknya datang berdagang. Tidak berapa lama atuk berkenalan dengan Imah, anaknya Haji Toha.
“Kamu tahukan toko di seberang kanan diperempatan pasar bawah?” tanya Bapak padaku.
“Iya” jawabku mengangguk-angguk.
“Nah, itu dulunya milik Haji Toha dan di sebelah kanannya lagi ada toko kain yang tak lain milik keluarga atuk. Pertemanan atuk dan Imah pun semakin serius, sampai pada suatu ketika atuk meminta Afhpanya untuk melamar Imah tetapi afhpanya tidak setuju. Namun, niat itu tetap dilaksanakan, dengan terlebih dahulu mengucapkan dua kalimat syahadat di masjid Jami.”
“Belum berumur satu bulan pernikahan mereka, Imah dipanggil pencipta lebih cepat karena sakit paru-paru.” lanjut Bapak mengakhiri cerita.
“Bapak kok bisa tahu?’ tanyaku penasaran.
“Itu semua almarhum kakekmu yang menceritakan kepada Bapak”
Malam mulai dewasa, bersama ingatanku yang masih terus memutar cerita dari dunia kecilku dulu. Dingin angin yang mulai menusuk tulangpun tak kugubris. Namun, aku harus tidur lebih awal dari biasanya, karena kalau sampai kesiangan nanti akan tertinggal kapal. Aku memang sudah lama tidak pulang kampung. Tapi besok semuanya akan tertuntaskan. Rinduku pada keluarga dan atuk yang merupakan kenangan terindah sebelum aku dibawa adik Bapak sembilan tahun silam.
“Bang, lebih baik Bahri ikut denganku. Mubajir jika bakatnya tidak dikembangkan” begitulah kata paksu Mudin memintaku dari Bapak.
Di tanah rantau, akhir-akhir ini ada sedikit kecemasan yang kurasakan. Dari sebuah website koran lokal, aku mendapatkan informasi kalau di kampung mulai marak kegiatan penambangan rakyat yang telah banyak merugikan daerah.
***
DARI jendela kapal, hamparan pasir putih mulai terlihat. Perasaanku semakin tak kuasa, aku mulai menebak-nebak rupa atuk Jum sekarang. Barangkali, rambut lelaki itu telah memutih dan kerutan di wajah tuanya makin nyata. Ada kemungkinan daya ingatanya pun mulai error. Itu galibnya perkembangan manusia, dari bayi belajar beranak-pinak kemudian renta dan pikun.
“Apakah atuk, masih juga mengenakan terindak saat berkebun?” tanyaku dalam hati. Biasanya terindak tidak pernah lepas dari atas kepalanya. Itu bukan sekadar asesoris, tapi bisa dikatakan sebagai atribute resmi berladang selain sepatu boat, celana las, dan kemeja coklat dengan tambal disana-sini.
***
“ABANG...bangun dulu, Sudah Ashar!” suara serak Ibu menyadarkanku. Perjalanan dari rantau ternyata cukup melelahkan, padahal di oto kongsi tadi aku sempat tertidur. Namun itu belum cukup mengobati kelelahanku.
Setengah jam berlalu sejak Ibu menyadarkanku. Di ruang tengah tampak Bapak sedang duduk santai sembari membaca koran. Di sisi kanannya ada sebuah meja dan diatas meja berdiri tegak secangkir kopi yang masih terlihat mengeluarkan uap.
“Bagaimana kuliahmu?” tanya Bapak menyambutku.
“Lancar-lancar saja, semester depan mulai skripsi” jawabku mantap.
“Abang,...tolong Ibu yah, antarkan ini ke atuk!” tiba-tiba Ibu datang dari dapur dengan membawa sepiring kue talam ubi.
“Atuk Jum, em apa pendapat lelaki itu saat melihatku nanti?” Aku mulai bertanya-tanya dalam hati. “Pastinya aku bukan lagi bujang kulup yang suka nangis dan runges. Badanku kini telah lebih tinggi dari atuk, aku yakin itu. Tanah rantaupun telah meluaskan pikiranku sebagai anak pulau dengan pahit getirnya kehidupan metropolis.
Sore itu, di ufuk barat matahari mulai bersembunyi dibalik awan, bersama cakrawala yang mulai dipenuhi warna jingga.
“Dua puluh lima menit lagi masuk waktu magrib” gumamku.
“Em…masih bisa untuk tiba di tempat atuk sebelum azan” yakinku kemudian.
Agar cepat sampai, aku harus memotong jalan, dan alternatif terdekat adalah setelah melewati tapekong harus berbelok kearah kanan, masuk diantara rimbun dan hijaunya hutan karet. Lalu aku mesti menyeberangi jembatan parit yang terbuat dari kayu pelawan.
Setiba di teratak atuk, tak banyak yang berubah. Aroma khas dari pohon-pohon tropis kembali tercium olehku seperti dulu. Memang disekitar teratak terdapat pohon-pohonan Cengkeh, Rambutan, Cempedak dan Durian.
“Assalamualaikum, atuk ada di dalam?” sapaku sembari mengetuk pintu.
“Assalamualaikum,...!” cobaku sekali lagi, tapi tetap saja tidak ada jawaban. Bahkan berkali-kali kucoba lebih keras. Namun tetap saja belum ada jawaban dari penghuninya.
“Dimana atuk?” pikirku.
Sejenak kulemparkan pandangan ke seluruh penjuru halaman. Tetapi tetap saja sosok tua atuk Jum tidak terlihat. Biasanya mendekati Magrib, atuk akan mengkandangkan ternaknya yang jumlahnya pun tak lebih dari sepuluh ekor. Dulu bila ada satu saja ayam yang belum dikandangkan, ia akan mencari sampai ketemu. Apalagi yang hilang itu si Jamprak, ayam jago kesayangan atuk. “Tapi itukan dulu” pikirku lagi. “Sekarang mana ada lagi si Jamprak. Kalaupun ada, itu mungkin Jamprak junior yang merupakan anak-anak atau cucu-cucunya.
Baru saja aku mau menuruni tangga rumah panggung itu. Tiba-tiba dari balik pohon Cempedak, dengan tertatih-tatih sesosok renta dengan membawa kantung plastik hitam datang. Lelaki itu kelihatan amat tua, dengan uban memenuhi kepala dan tubuhnya makin mengecil. Sepasang matanya yang kuyu menatapku bimbang.
“Ini Sulai, tuk. Atuk masih ingat Sulai ‘kan?” kataku, lalu meraih dan mencium punggung tangannya.
Mata lelaki itu mulai berair. Ia meraih pundakku dan sembari mengajakku masuk ke terataknya tanpa berkata-kata. Keadaan tempat tinggal Atuk pun tak banyak berubah. Di dinding masih terpasang lukisan kaligrafi milikku, milik Jauhari, dan milik teman-teman yang lain. Bahkan foto kami di depan masjid Jami ketika acara perlombaan tahun baru Islam pun masih terpasang di tempat yang sama.
“Sekarang lum musim keremunting” kata lelaki itu, menuang segelas air untukku.
“Oh, tidak apa-apa tuk. Sulai hanya mengantarkan talam ubi ini. Sekalian melihat keadaan atuk. Maklumlah Sulai kan sudah lama tidak pulang.” kataku, seraya duduk lebih dekat dengan atuk.
“Semuanya sudah berubah” jawab atuk kemudian.
”Bapak kamupun telah pensiun. Kebetulan ka datang, ada yang nek atuk ceritakan kek ka. Semua orang di tempat kite ni sudah gila. Masak tempat atuk ini mau dibeli, katanya mau dijadikan tambang. Terus kalau begitu dimana atuk mau tinggal. Atuk ini sudah tua, sudah sering sakit-sakitan, sebentar lagi akan pulang ke tanah. Macam-macam penyakit pun ada, dari sakit kepala, demam, ditambah lagi atuk ini sudah sering meriang. Mana mata ini sudah susah melihat.” lanjut lelaki tua itu.
Atuk Jum akhirnya mengungkapkan cerita tentang rusaknya lingkungan di sekitar terataknya akibat penambangan timah rakyat, tetapi cerita itu harus dipending ketika suara azan memanggil kami.
***
KEINDAHAN tanah kelahiranku memang telah sedikit berkurang, tetapi ia tetap menggoda siapa saja yang pernah datang untuk datang kembali. Satu bulan sudah aku kembali meninggalkan tanah yang telah memberiku semangat itu. Peliknya rutinitas kembali aku jalanin. Sampai pada suatu malam aku mendapat kabar melalui ponsel.
“Abang, yang ikhlas ya...!” Suara diujung ponsel yang tidak lain adalah milik ibu mengejutkanku.
“Emang ada apa bu?” tanyaku penasaran
“Emm, sejak dua hari lalu atuk hilang. Menurut kabar, mang Nuar melihat atuk sedang bercakap-cakap dengan seseorang dari kota di terataknya sehari sebelum hilang,..lalu ”
“Lalu apa bu?” lanjutku semakin penasaran.
Belum sempat Ibu melanjutkan cerita tiba-tiba batere ponsel low-bat. Malam itu aku tak bisa menelpon balik ke rumah, selain uang di dompetku yang jumlahnya hanya cukup buat makan dua hari, bukan hanya itu pulsa diponselku pun memang telah lama belum diisi. Aku hanya bisa memendam pertanyaan bagaimana nasib atuk sekarang.
Aku terdiam di sudut, pandanganku hampa. Ingin rasanya aku berlari sekencang-kencangnya dan kembali ke Bangka untuk mencari kabar tentang atuk. Beberapa saat kemudian, kucoba untuk menenangkan diri. Pandangan kulepaskan ke seluruh penjuru kota Palembang. Dari lantai lima rumah susun, di sebelah utara terlihat dengan jelas kerlipan lampu Jembatan Ampera, yang dengan gagah menatapku. Di sebelah kanannya, lampu-lampu dari Pelabuhan Boom Baru seolah merayuku untuk kembali pulang esok pagi. ”Em,...Huusss!” kutarik napas dalam-dalam.
***
SATU minggu sudah sejak telepon dari Ibu yang mengabarkan tentang hilangnya atuk, tetapi aku masih belum mendapatkan kejelasan dimana atuk sekarang. Sampai suatu siang, ketika aku menjemput Anwar teman sekampusku yang baru mudik dari Bangka, aku melihat foto di headline koran yang ia bawanya. Gambar lelaki yang ada di foto itu seperti tak asing bagiku.
”Iya, itu atuk,!” seketika darahku seakan turun. Kakiku terasa berat untuk melangkah, aku tersudut lemas diantara tiang penyanggah parkir pelabuhan Boom Baru.
”Lai,...ini ada surat dari mamakmu!” kata Anwar sembari menyerahkan surat beramplop putih dari saku jaketnya.
...Abang, maafkan Ibu yang menyembunyikan permasalahan ini darimu. Sebenarnya sudah sejak lama daerah tempat tinggal atuk akan digusur oleh pemerintah. Mereka mengatakan atuk tidak memiliki sertifikat tanah. Namun, karena bapakmu kenal baik dengan orang-orang di PEMDA maka masalah ini bisa diatasi. Tapi sekarang bapakmu sudah pensiun masalah itupun kembali diangkat. Dan ketika orang PEMDA itu datang, atuk tetap berkeras untuk tidak mau meninggalkan terataknya, karena atuk tahu bahwa tempat dimana ia tinggal merupakan daerah aliran penambangan timah yang sangat bagus. Makanya atuk tidak rela bila bumi Bangka kembali dilubangi hanya untuk mendapatkan pasir timah yang kemudian hanya bisa dinikmati oleh para toke-toke.
Abang, atuk memang menghilang dari kampung, sampai kemarin pagi ditemukan oleh encik Insan yang bekerja di penambangan tidak jauh dari teratak. Atuk meninggal di lubang camui. Sepertinya atuk telah terlalu lelah meladeni tekanan-tekanan dari orang-orang kota yang akan menggusur tanahnya.***
Palembang, 25 September 2006
Catatan:
*atuk = kakek, *hume = kebun/ladang, *teratak = pondok, *bilah = lantai, *lawang bilik = pintu kamar, *deket = dekat, *toke sahang kite = bos lada kita, *bijur = ketela rambat, *Afhpanya = ayahnya, *paksu = panggilan untuk adik Bapak yang paling bungsu, *terindak = tutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu, berfungsi sebagai pelindung dari panas matahari dan hujan, *abang = panggilan untuk anak laki-laki tertua di rumah, *oto kongsi = mobil angkutan, *talam ubi = sejenis panganan tradisional di Bangka, *bujang kulup = panggilan bagi anak laki-laki yang belum dikhitan, *runges = dekil, *tapekong = tempat bersembahyang pemeluk Kong Hu Cu, *lum = belum, *mamakmu = Ibu, *camui = lubang pembuangan limbah Tambang Inkonvensional.
0 komentar:
Posting Komentar