Memberdayakan Masyarakat Miskin

Oleh Prakoso Bhairawa Putera S

Sabtu, 27 Agustus 2005
Kehadiran pelbagai macam program pengentasan kemiskinan tidak saja menunjukkan tekad pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, tetapi juga sebagai bagian dari perwujudan pembangunan alternatif melihat pentingnya manusia tidak lagi sebagai objek tapi subjek pembangunan. Bahkan Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dalam suatu pidatonya meminta agar program-program pemerintahan masa lalu yang terabaikan selama 7 tahun reformasi dihidupkan kembali.Program-program yang menurut presiden dapat dihidupkan kembali, di antaranya program pendidikan kesejahteraan keluarga, pos pelayanan terpadu (Posyandu), pekan imunisasi nasional (PIN) dan apotek hidup. (Kompas, 10 Juni 2005). Dalam konteks inilah, "partisipasi masyarakat sepenuhnya" dianggap sebagai penentuan keberhasilan pembangunan.

Selama ini, keterlibatan masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit. Artinya, manusia cukup dipandang sebagai tenaga kasar untuk mengurangi biaya pembangunan sosial. Dengan kondisi ini, peran serta masyarakat terbatas pada implementasi atau penerapan program. Masyarakat kurang dikembangkan dayanya agar menjadi kreatif dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar. Partisipasi masyarakat menjadi bentuk yang pasif. (Midgley, 1986).

Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan msalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat mengatasi masalah mereka. Partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi di seputar mereka.

Konsep pemberdayaan sendiri merupakan central thema atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Selama ini, pemberdayaan secara sederhana mengacu pada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumber-sumber hidup yang penting. Upaya masyarakat miskin untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan melalui power yang dimilikinya merupakan bagian dari pembangunan manusia.

Selama ini, menurut Mubyarto, yang sangat langka bukan soal dana tetapi soal kepedulian sosial terhadap kelompok miskin. Tolok ukur kepedulian tentunya bukan dalam volume dan jumlah suara seperti dalam kampanye pemilu, tetapi aktualisasinya. Sejauh ini ratusan program telah dicanangkan dengan sasaran kelompok-kelompok lemah dan miskin. Setiap departemen dalam pemerintahan mempunyai program-program titipan sendiri-sendiri. Bukan hanya pada Departemen-departemen Agama, Sosial, Peranan Wanita, Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, Tenaga Kerja, Kehakiman dan Kejaksaan, Dalam Negeri, tetapi juga di Departemen PU, Depkeu, Depdag, Deprin, Deptan, Dephut dan lainnya juga mempunyai berbagai program untuk kelompok-kelompok lemah dan miskin.

Ada beberapa kelemahan pada berbagai program itu. Pertama, kendati hampir semua departemen mempunyai program penanggulangan kemiskinan sendiri-sendiri, namun tenaga-tenaga profesionalnya masih kurang. Kedua, pendekatan didominasi lewat pendekatan "atasan-bawahan" yang kaku dan kurang mendidik. Ketiga, pelaksanaan program seringkali kurang transparan. Keempat, terlalu bersifat sentralistik, sehingga dana yang relatif kecil -- sering tidak mengenai sasaran ke bawah. Kelima, proyek-proyek kemiskinan yang harus selesai dalam jangka pendek cenderung merugikan program itu sendiri. Proyek-proyek penanggulangan kemiskinan seyogianya longitudinal, setidaknya 4-5 tahun sehingga terhindar dari prioritas dan sasaran hasil fisik yang segera dapat dilihat pada setiap akhir tahun. Keenam, pimpro-pimpro seyogianya tidak di Jakarta, tetapi paling tidak di ibukota kabupaten. Maksudnya agar pembinaan dan pengembangan tenaga-tenaga profesional untuk menanggulangi kemiskinan di berbagai daerah dapat ditingkatkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.

Kemiskinan dicirikan oleh masih relatif rendahnya tingkat pelayanan terhadap pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana dasar di bidang permukiman dan prasarana wilayah. Di samping itu juga dipengaruhi oleh keterisolasian dan minimnya potensi daerah yang ada, sehingga menyebabkan kurang berkembangnya kegiatan ekonomi produktif yang pada gilirannya mendorong terjadinya kemiskinan. Dukungan prasarana dan sarana dasar pemukiman dan prasarana wilayah adalah sangat diperlukan terutama untuk mendukung kegiatan usaha pertanian, di samping untuk mendukung pemasaran produksi, dan juga mewujudkan peningkatan nilai tambah hasil produksi.

Upaya pengentasan kemiskinan bukan hanya ditekankan pada pendayagunaan prasarana dan sarana dasar termasuk pengembangan irigasi kecil/desa, jalan akses untuk mendukung pemasaran produksi, dan juga peningkatan sarana produksi terkait lainnya untuk mendorong peningkatan nilai tambah di daerah perdesaan. Akan tetapi, bagaimana melibatkan masyarakat agar berperan aktif keluar dari kondisi "miskin". Langkah awal yang dipandang cukup efektif dalam rangka pemberdayaan masyarakat miskin adalah dengan membentuk kelompok-kelompok kegiatan dengan bantuan aparat atau petugas pembimbing yang ditugasi untuk keperluan itu.

Salah satu cara terbaik untuk membantu golongan miskin dalam meningkatkan tingkat sosial-ekonominya adalah dengan cara melakukan pembimbingan secara terus-menerus terhadap kegiatan masyarakat miskin. Pada program ini akan ditempatkan seorang pendamping (pembimbing) yang secara terus-menerus dapat membimbing dalam melakukan kegiatannya. Para pendamping dapat diambil dari kalangan perguruan tinggi, LSM, petugas instansi terkait atau pihak-pihak lain yang ingin berpartisipasi dalam program ini.

Sebagai suatu program tentunya dimungkinkan sekali adanya berbagai kendala. Salah satu kendala yang sering terjadi dan sangat klasik adalah apabila bantuan keuangan dari pemerintah telah habis untuk kebutuhan konsumsi atau kebutuhan sehari-hari. Untuk itulah peran pendamping perlu ditingkatkan untuk membantu pengelolaan bantuan yang diperlukan secara individual atau kelompok. Dan bila golongan miskin itu benar-benar tidak mau dibantu lantaran lebih menyukai kondisi kemiskinan struktural maka perlu terus diupayakan agar golongan miskin mau berpartisipasi. Untuk maksud ini, tokoh-tokoh masyarakat perlu dilibatkan untuk ikut membantu memecahkan masalah. ***

Penulis mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara
FISIP Universitas Sriwijaya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar: