Dari senarai batanghari dan tanah pilih sampai gemuruh pada pemilik teduh
Oleh AFRION
BUNGA rampai Cerpen Indonesia bertajuk Senarai Batanghari memuat 13 judul cerpen diterbitkan dalam rangkaian pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia I, (7-11 Juli 2008) di Jambi. Disebutkan bahwa Senarai merupakan semacam kisah pendek yang dituturkan atau semacam bunga rampai yang berisi aneka kisah kehidupan. Sedangkan Batanghari merupakan nama sungai terpanjang di Jambi, dikiaskan bagai seekor naga dari selatan yang merepresentasikan kejayaan Melayu. Seekor naga yang menggeliat di tengah kemajuan peradaban, bergerak pelan dengan ketenangan airnya yang kuning kecoklatan.
Senarai Batanghari dengan berbagai sudut pandang yang menyoroti sisi baik dan sisi buruk dengan latar lingkungan fisik, lingkungan biologis, dan lingkungan sosial. Mereduksi kembali latarbelakang kebudayaan, mengkritisi keberadaan alam dan nilai hidup manusia. Membuka wacana kesadaran berpikir dengan berbagai metafor kekinian termasuk persoalan yang sedang mengancam ekosistem makhluk hidup di bumi. Keberagaman tema dan pola ucap mengaktualisasikan persoalan kehidupan sehari-hari. Mulai dari Secangkir Kopi Penuh Dusta oleh Atik Sulistyowati sampai Serau oleh Yupnikal Saketi. Peristiwa yang mengesankan itu, mengandung makna manusia dalam konteks sebagai makhluk sosial memahami realitas alam, naturalisme alam, tanah, udara, dan air. Mahakam di Kalimantan Timur merupakan saksi kunci dalam cerpen Atik Sulistyowati (seperti halnya Batanghari di Jambi) yang menawarkan selaksa eksotika bumi penuh pesona, menghanyutkan kita untuk tak beranjak pulang. Kecuali kegelapan yang makin erat mengikat kita dalam lautan perasaan.
Sedangkan bunga rampai puisi Indonesia “Tanah Pilih” yang memuat 74 karya puisi dari Acep Syahril sampai Yvonne De fretes (sesuai abjad), melakukan penjelajahan yang memberikan tawaran-tawaran kreatif dan inovatif. Kreativitas penyair berekspresi lewat puisi-puisi naratif, ekspresif, imajis, dan liris, setidaknya telah mencatatkan namanya dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia dengan konteks lokalitas. Dra. Hj. Mualimah Radhiana M.Pd selaku kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi sebagai pemrakarsa sekaligus penyandang dana penyelenggaraan acara Temu Sastrawan Indonesia, memandang perlunya keberagaman ekspresi sastrawan ini terwadahi. Salah satunya menerbitkan buku bunga rampai 13 cerpenis Indonesia bertajuk “Senarai Batanghari” dan 74 puisi dari sastrawan Indonesia bertajuk “Tanah Pilih”, serta mengundang 14 budayawan sebagai pemakalah.
Gagasan meningkatkan kunjungan wisata “Visit Jambi 2008” yang kini digalakkan oleh pemerintah provinsi Jambi cq Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi, lebih kepada penataan kota dan situs-situs sejarah. Selain melakukan penataan Candi Muara Jambi, melaksanakan even tingkat nasional, juga menerbitkan buku-buku sastra yang berkaitan dengan kota Jambi. Menelusuri objek wisata sungai Batanghari menuju Candi Muara Jambi, di atas “ketek” (sarana angkutan sungai) seakan berada di atas seekor naga besar yang gagah perkasa. Sungai Batanghari yang menggeliat di tengah kemajuan peradaban tanah Melayu, menyimpan situs sejarah sepanjang pinggiran sungai. Perjalanan yang mengesankan menghapus rasa penat dan kelelahan berpikir selama lebih dari 4 hari memperbincangkan pengambangan mutu sastra dengan segala permasalahannya di Indonesia dalam sesi diskusi yang dilakukan secara maraton dari mulai pagi hingga petang.
Berbagai persoalan sastra Indonesia diperdebatkan. Mulai dari pemetaan estetika sastra, orientasi kebebasan berekspresi, tradisi kritik sastra dalam masyarakat yang anti kritik, kebijakan penerbitan dan pembelajaran karya sastra Indonesia masa kini, dibicarakan dengan simpulan sederhana. Bersamaan itu pula dilakukan musyawarah sastrawan dengan agenda pembentukan sebuah lembaga yang memfokuskan aktivitasnya pada advokasi sastra. Rapat tim perumus advokasi sastra ini kemudian menetapkan terbentuknya Aliansi Sastra Indonesia dengan Surat Keputusan nomor 001/SK/JBI/VII/2008. Untuk merealisasikan pembentukan Aliansi Sastra Indonesia, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dilaksanakan pertemuan khusus membahas kelengkapan statuta organisasi dan susunan kepengurusan.
Tim perumus advokasi sastra terdiri dari Acep Zamzam Noor, (Jawa Barat), Afrizal Malna (Yogyakarta), Joni Ariadinata (Solo), Ahmadun Yosi Herfanda, Kartini Nurdin (DKI Jakarta), Afrion (Sumut), Atik Sulistiowati (Kaltim), Fadillah (Sumbar), Firdaus (Jambi), Koko P Bhairawa (Sumsel), Wahyu Sunan Kalimati (Sulsel), Triyanto Triwikromo (Semarang), Tan Lio Ie (Bali), dan Bambang Widiatmoko (Jabodetabek). Pembentukan Aliansi Sastra Indonesia didasarkan pada makin banyaknya persoalan yang dihadapi sastrawan, khususnya dalam hal menciptakan ruang kebebasan berekspresi. Dengan terbentuknya lembaga ini diharapkan memiliki bargaining power dan bargaining position, yang menempatkan sastrawan sebagai mitra pemerintah, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Ketertindasan sastra yang selama ini dirasakan membelenggu kebebasan berekspresi, mulai dari rejim Orde Lama dengan demokrasi terpimpin di bawah komando Presiden Soekarno, yang memposisikan seni sebagai alat revolusi, lalu pada zaman rejim Orde Baru di bawah pemerintahan militer Presiden Soeharto pada awal 1970-an, yang lebih mementingkan politik pembangunan dan membatasi kebebasan berekspresi seniman.
Selanjutnya di era reformasi, pintu kebebasan berekspresi terbuka luas. Berkenaan dengan itu, pengembangan seni budaya untuk masa depan diarahkan membangun semangat kebangsaan, mewujudkan identitas keindonesiaan melalui akar tradisi sebagai jati diri bangsa berseni, berbudaya, bernurani dan bernalar. Nalar dalam berucap dan bertindak adalah aktivitas yang memungkinkan kita berpikir logis menjangkau keberadaan bumi dengan segala isi dan keterbatasannya. Pada intinya bumi sebagai pusat kehidupan mempengaruhi pola hidup dan pola pikir manusia. Pencarian makna dalam kehidupan, tidak hanya mengandung misteri yang terasa transendental, tapi juga begitu ritmis memasuki wilayah kedaulatan individu. Sebanyak 64 judul puisi Nur Hilmi Daulay berkisah tentang nalar manusia bertajuk Gemuruh; pada pemilik teduh, yang resmi diluncurkan bersamaan dengan acara panggung apresiasi sastra (9 Juli 2008) di taman Budaya Jambi. Buku ini merupakan gejolak diri dari seorang penulis wanita asal Medan. Ia datang ke Jambi dengan keberanian dan semangat memasuki wilayah kesastraan Indonesia.
Dengan kepekaan naluri dan cinta yang bergelora, baginya kehidupan sepanjang usia memahami setiap perubahan, menaklukan rintangan, merasakan nikmat karunia. Dari dunia kegelapan menuju cahaya senantiasa membawa diri mencapai impian, namun diri terkadang tidak mampu memaknai hukum sebab akibat yang terjadi. Ketika tubuh setiap kali meniupkan terompet kematian sebagai pertanda akhir hidup, roh dijemput malaikat pencabut nyawa, maka tubuh akan meninggalkan kenangan dan juga warisan. Sebaliknya kematian sebagai bentuk penyerahan diri kepada sang maha pencipta langit dan bumi, adalah bagian dari pertanggungjawaban. Sebuah warisan, tidak berarti karena adanya kematian. Warisan adalah sejarah yang akan hidup sepanjang masa.
Warisan ditinggalkan kepada kita tanpa surat wasiat, demikian Karlina Leksono Supelli mengutip ungkapan Rene Char Arendt penyair Perancis dalam bukunya Between Past and Future. Suatu keadaan yang memperlihatkan peradaban kebudayaan yang ditinggalkan dalam pertarungan menjaga warisan masa lalu di masa depan. Hal yang tak dapat dihindari setiap generasi, karena kehadirannya tidak mungkin menyangkal adanya kesinambungan sejarah. Maka bunga rampai Cerpen dan puisi Temu Sastrawan Indonesia I dari Senarai Batanghari, dan Tanah Pilih sampai Gemuruh; pada pemilik teduh diharapkan menjadi sebuah peninggalan warisan sejarah yang kelak menjadi cermin untuk melihat perkembangan kreatifitas masa lalu di masa depan.
Sumber : WASPADA, 27 Juli 2008
Oleh AFRION
BUNGA rampai Cerpen Indonesia bertajuk Senarai Batanghari memuat 13 judul cerpen diterbitkan dalam rangkaian pelaksanaan Temu Sastrawan Indonesia I, (7-11 Juli 2008) di Jambi. Disebutkan bahwa Senarai merupakan semacam kisah pendek yang dituturkan atau semacam bunga rampai yang berisi aneka kisah kehidupan. Sedangkan Batanghari merupakan nama sungai terpanjang di Jambi, dikiaskan bagai seekor naga dari selatan yang merepresentasikan kejayaan Melayu. Seekor naga yang menggeliat di tengah kemajuan peradaban, bergerak pelan dengan ketenangan airnya yang kuning kecoklatan.
Senarai Batanghari dengan berbagai sudut pandang yang menyoroti sisi baik dan sisi buruk dengan latar lingkungan fisik, lingkungan biologis, dan lingkungan sosial. Mereduksi kembali latarbelakang kebudayaan, mengkritisi keberadaan alam dan nilai hidup manusia. Membuka wacana kesadaran berpikir dengan berbagai metafor kekinian termasuk persoalan yang sedang mengancam ekosistem makhluk hidup di bumi. Keberagaman tema dan pola ucap mengaktualisasikan persoalan kehidupan sehari-hari. Mulai dari Secangkir Kopi Penuh Dusta oleh Atik Sulistyowati sampai Serau oleh Yupnikal Saketi. Peristiwa yang mengesankan itu, mengandung makna manusia dalam konteks sebagai makhluk sosial memahami realitas alam, naturalisme alam, tanah, udara, dan air. Mahakam di Kalimantan Timur merupakan saksi kunci dalam cerpen Atik Sulistyowati (seperti halnya Batanghari di Jambi) yang menawarkan selaksa eksotika bumi penuh pesona, menghanyutkan kita untuk tak beranjak pulang. Kecuali kegelapan yang makin erat mengikat kita dalam lautan perasaan.
Sedangkan bunga rampai puisi Indonesia “Tanah Pilih” yang memuat 74 karya puisi dari Acep Syahril sampai Yvonne De fretes (sesuai abjad), melakukan penjelajahan yang memberikan tawaran-tawaran kreatif dan inovatif. Kreativitas penyair berekspresi lewat puisi-puisi naratif, ekspresif, imajis, dan liris, setidaknya telah mencatatkan namanya dalam sejarah pertumbuhan dan perkembangan sastra Indonesia dengan konteks lokalitas. Dra. Hj. Mualimah Radhiana M.Pd selaku kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi sebagai pemrakarsa sekaligus penyandang dana penyelenggaraan acara Temu Sastrawan Indonesia, memandang perlunya keberagaman ekspresi sastrawan ini terwadahi. Salah satunya menerbitkan buku bunga rampai 13 cerpenis Indonesia bertajuk “Senarai Batanghari” dan 74 puisi dari sastrawan Indonesia bertajuk “Tanah Pilih”, serta mengundang 14 budayawan sebagai pemakalah.
Gagasan meningkatkan kunjungan wisata “Visit Jambi 2008” yang kini digalakkan oleh pemerintah provinsi Jambi cq Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jambi, lebih kepada penataan kota dan situs-situs sejarah. Selain melakukan penataan Candi Muara Jambi, melaksanakan even tingkat nasional, juga menerbitkan buku-buku sastra yang berkaitan dengan kota Jambi. Menelusuri objek wisata sungai Batanghari menuju Candi Muara Jambi, di atas “ketek” (sarana angkutan sungai) seakan berada di atas seekor naga besar yang gagah perkasa. Sungai Batanghari yang menggeliat di tengah kemajuan peradaban tanah Melayu, menyimpan situs sejarah sepanjang pinggiran sungai. Perjalanan yang mengesankan menghapus rasa penat dan kelelahan berpikir selama lebih dari 4 hari memperbincangkan pengambangan mutu sastra dengan segala permasalahannya di Indonesia dalam sesi diskusi yang dilakukan secara maraton dari mulai pagi hingga petang.
Berbagai persoalan sastra Indonesia diperdebatkan. Mulai dari pemetaan estetika sastra, orientasi kebebasan berekspresi, tradisi kritik sastra dalam masyarakat yang anti kritik, kebijakan penerbitan dan pembelajaran karya sastra Indonesia masa kini, dibicarakan dengan simpulan sederhana. Bersamaan itu pula dilakukan musyawarah sastrawan dengan agenda pembentukan sebuah lembaga yang memfokuskan aktivitasnya pada advokasi sastra. Rapat tim perumus advokasi sastra ini kemudian menetapkan terbentuknya Aliansi Sastra Indonesia dengan Surat Keputusan nomor 001/SK/JBI/VII/2008. Untuk merealisasikan pembentukan Aliansi Sastra Indonesia, dalam waktu yang tidak terlalu lama akan dilaksanakan pertemuan khusus membahas kelengkapan statuta organisasi dan susunan kepengurusan.
Tim perumus advokasi sastra terdiri dari Acep Zamzam Noor, (Jawa Barat), Afrizal Malna (Yogyakarta), Joni Ariadinata (Solo), Ahmadun Yosi Herfanda, Kartini Nurdin (DKI Jakarta), Afrion (Sumut), Atik Sulistiowati (Kaltim), Fadillah (Sumbar), Firdaus (Jambi), Koko P Bhairawa (Sumsel), Wahyu Sunan Kalimati (Sulsel), Triyanto Triwikromo (Semarang), Tan Lio Ie (Bali), dan Bambang Widiatmoko (Jabodetabek). Pembentukan Aliansi Sastra Indonesia didasarkan pada makin banyaknya persoalan yang dihadapi sastrawan, khususnya dalam hal menciptakan ruang kebebasan berekspresi. Dengan terbentuknya lembaga ini diharapkan memiliki bargaining power dan bargaining position, yang menempatkan sastrawan sebagai mitra pemerintah, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan lainnya. Ketertindasan sastra yang selama ini dirasakan membelenggu kebebasan berekspresi, mulai dari rejim Orde Lama dengan demokrasi terpimpin di bawah komando Presiden Soekarno, yang memposisikan seni sebagai alat revolusi, lalu pada zaman rejim Orde Baru di bawah pemerintahan militer Presiden Soeharto pada awal 1970-an, yang lebih mementingkan politik pembangunan dan membatasi kebebasan berekspresi seniman.
Selanjutnya di era reformasi, pintu kebebasan berekspresi terbuka luas. Berkenaan dengan itu, pengembangan seni budaya untuk masa depan diarahkan membangun semangat kebangsaan, mewujudkan identitas keindonesiaan melalui akar tradisi sebagai jati diri bangsa berseni, berbudaya, bernurani dan bernalar. Nalar dalam berucap dan bertindak adalah aktivitas yang memungkinkan kita berpikir logis menjangkau keberadaan bumi dengan segala isi dan keterbatasannya. Pada intinya bumi sebagai pusat kehidupan mempengaruhi pola hidup dan pola pikir manusia. Pencarian makna dalam kehidupan, tidak hanya mengandung misteri yang terasa transendental, tapi juga begitu ritmis memasuki wilayah kedaulatan individu. Sebanyak 64 judul puisi Nur Hilmi Daulay berkisah tentang nalar manusia bertajuk Gemuruh; pada pemilik teduh, yang resmi diluncurkan bersamaan dengan acara panggung apresiasi sastra (9 Juli 2008) di taman Budaya Jambi. Buku ini merupakan gejolak diri dari seorang penulis wanita asal Medan. Ia datang ke Jambi dengan keberanian dan semangat memasuki wilayah kesastraan Indonesia.
Dengan kepekaan naluri dan cinta yang bergelora, baginya kehidupan sepanjang usia memahami setiap perubahan, menaklukan rintangan, merasakan nikmat karunia. Dari dunia kegelapan menuju cahaya senantiasa membawa diri mencapai impian, namun diri terkadang tidak mampu memaknai hukum sebab akibat yang terjadi. Ketika tubuh setiap kali meniupkan terompet kematian sebagai pertanda akhir hidup, roh dijemput malaikat pencabut nyawa, maka tubuh akan meninggalkan kenangan dan juga warisan. Sebaliknya kematian sebagai bentuk penyerahan diri kepada sang maha pencipta langit dan bumi, adalah bagian dari pertanggungjawaban. Sebuah warisan, tidak berarti karena adanya kematian. Warisan adalah sejarah yang akan hidup sepanjang masa.
Warisan ditinggalkan kepada kita tanpa surat wasiat, demikian Karlina Leksono Supelli mengutip ungkapan Rene Char Arendt penyair Perancis dalam bukunya Between Past and Future. Suatu keadaan yang memperlihatkan peradaban kebudayaan yang ditinggalkan dalam pertarungan menjaga warisan masa lalu di masa depan. Hal yang tak dapat dihindari setiap generasi, karena kehadirannya tidak mungkin menyangkal adanya kesinambungan sejarah. Maka bunga rampai Cerpen dan puisi Temu Sastrawan Indonesia I dari Senarai Batanghari, dan Tanah Pilih sampai Gemuruh; pada pemilik teduh diharapkan menjadi sebuah peninggalan warisan sejarah yang kelak menjadi cermin untuk melihat perkembangan kreatifitas masa lalu di masa depan.
Sumber : WASPADA, 27 Juli 2008
0 komentar:
Posting Komentar